top of page
Writer's pictureWOW Ministry

ADVEN: MENANTIKAN ALLAH

HENRI NOUWEN

Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)



Menunggu bukanlah hal yang populer. Orang-orang tidak suka menunggu.

Bahkan, banyak yang menganggap bahwa menunggu itu membuang-buang

waktu. Barangkali, anggapan ini memang mencerminkan budaya yang di

dalamnya kita hidup. “Ayo pergi! Lakukan sesuatu! Tunjukkan bahwa kamu

bekerja! Jangan hanya duduk dan diam saja!” Menunggu bagi sebagian

orang seperti sebuah padang gurun yang menyiksa di antara keadaan saat

ini dan keadaan yang ingin dicapai. Mereka membenci padang gurun

tersebut. Mereka ingin secepatnya keluar dengan cara segera mengerjakan

sesuatu.


Menunggu menjadi lebih sukar karena kita begitu mudah merasakan

ketakutan. Salah satu emosi yang kerap menjangkiti manusia adalah

ketakutan. Kita takut akan apa yang kita pikirkan, takut kepada orang lain

dan takut atas masa depan. Orang yang dilanda ketakutan sulit untuk

menunggu karena ia ingin secepatnya melarikan diri dari keadaan itu. Bila

kita tidak bisa melarikan diri maka kita melawannya. Banyak tindakan keliru

yang kita lakukan karena kita takut terhadap sesuatu yang kita nilai

berbahaya. Dan bila kita menarik lebih luas, ternyata bukan hanya individual

tetapi seluruh masyarakat dan negara juga sering merasa takut diserang. Itu

sebabnya, ada tindakan menyerang lebih dahulu ke pihak lain. Mereka yang

tinggal dalam ketakutan akan sangat mudah agresif, kasar dan destruktif

dibandingkan mereka yang tidak dikuasai rasa takut. Semakin kita takut,

semakin sulit kita menunggu. Sekali lagi, tidaklah mengherankan bila

menunggu dihindari banyak orang.


Di sinilah saya sangat terkesan dengan tokoh-tokoh yang muncul dalam

pasal-pasal pertama Injil Lukas. Mereka dikisahkan sedang menunggu.

Zakaria dan Elisabet menunggu. Maria menunggu. Simeon dan Hana sedang

menunggu di bait suci ketika bayi Yesus dibawa ke sana. Seluruh adegan

pendahuluan dari Berita Baik dipenuhi dengan orang-orang yang menunggu.

Dan sejak awal, mereka telah mendengar kalimat, “Jangan takut! Aku

membawa kabar baik bagimu.” Kalimat ini menciptakan suasana dan

konteksnya. Zakaria, Elisabet, Maria, Simeon dan Hana memang menunggu

sesuatu yang baru dan baik untuk terjadi.


Siapakah tokoh-tokoh ini? Sesungguhnya, mereka mewakili Israel yang juga

sedang menunggu. Mazmur dipenuhi dengan penungguan. Mazmur 130:5-7,

“Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku

mengharapkan firman-Nya. Jiwaku mengharapkan TUHAN lebih dari pada

pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan

pagi. Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel! Sebab pada TUHAN ada kasih

setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan.” Menunggu Tuhan terus

bergema di sepanjang kitab orang Yahudi.


Semua orang yang tinggal di tanah Israel memang sedang menunggu.

Bahkan, sesungguhnya para nabi sering menegur umat Allah karena berhenti

menunggu Dia. Menunggu menjadi sikap yang penting bagi sekelompok kecil

orang Israel yang baru kembali dari pembuangan. Nabi Zefanya berkata, “Di

antaramu akan Kubiarkan hidup suatu umat yang rendah hati dan lemah,

dan mereka akan mencari perlindungan pada nama TUHAN, yakni sisa Israel

itu. Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohong; dalam

mulut mereka tidak akan terdapat lidah penipu; ya, mereka akan seperti

domba yang makan rumput dan berbaring dengan tidak ada yang

mengganggunya,” (3:12-13). Mereka yang menunggu ini disebut orang yang

setia. Elisabet, Zakaria, Maria dan Simeon mewakili mereka. Mereka sanggup

menunggu, bersiap sedia dan merindu.


Namun, apa sebenarnya hakikat dari menunggu itu? Bagaimana mereka

menunggu? Dan bagaimana kita dipanggil untuk menunggu bersama dengan

mereka?


Menunggu, sebagaimana yang kita saksikan dari para tokoh di permulaan

kitab Injil, selalu berkaitan dengan kesadaran akan janji. “Hai Zakharia ...

isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu ... Hai Maria ...

Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang

anak laki-laki,” (Lukas 1:13, 30-31).


Mereka yang mendapatkan janji mempunyai alasan untuk menunggu.

Mereka menerima janji seperti sebuah benih yang akan bertumbuh. Ini

sangatlah penting. Kita hanya bisa menunggu sesuatu yang kita tahu sedang

datang kepada kita. Jadi menunggu bukanlah gerakan dari kehampaan

menuju sesuatu. Melainkan, gerakan dari sesuatu yang biasa menuju sesuatu

yang lebih baik. Zakaria, Maria dan Elisabet hidup dengan sebuah janji yang

menopang mereka. Janji yang membuat mereka sanggup menunggu. Dalam

hal ini, janji bagaikan makhluk hidup yang turut membesar di dalam dan bagi

mereka.


Selanjutnya, menunggu itu pekerjaan yang aktif. Banyak dari kita menuduh

bahwa menunggu adalah hal yang pasif. Sebuah sikap yang tidak

berpengharapan karena didikte oleh situasi yang di luar kendali kita.

Contohnya, bis yang terlambat. Anda tidak bisa melakukan apapun terkait

keterlambatan ini. Anda hanya bisa duduk dan menunggu. Tidak sulit untuk

merasakan betapa menyebalkan keadaan ini ketika kita hanya bisa

menunggu. Kita terpaksa menjadi pasif.


Akan tetapi, menunggu dalam Alkitab bukanlah kepasifan. Mereka yang

menunggu sesungguhnya menunggu secara aktif. Mereka meyakini bahwa

apa yang mereka nantikan itu sedang bertumbuh dalam tanah di atas

mereka berpijak. Inilah rahasia dari menunggu bahwa kita beriman pada

benih yang sudah ditanam dan perlahan tapi pasti sedang bertumbuh.

Menunggu secara aktif artinya kita hadir secara penuh pada saat ini, dengan

sebuah keyakinan bahwa sesuatu sedang terjadi dan berlangsung di dalam

diri kita. Seseorang yang menunggu adalah dia yang memeluk setiap momen

karena percaya bahwa setiap momen sangatlah penting dalam keseluruhan

perjalanan.


Seorang yang menunggu adalah orang yang sabar. Hakikat dari kesabaran

adalah tekad untuk tinggal dalam kondisi yang ada dan menikmati kondisi

tersebut dalam seluruh kepenuhannya berdasarkan keyakinan bahwa ada

yang tersembunyi dan akan memperlihatkan dirinya kepada orang yang

sabar. Orang yang tidak sabar akan selalu berpikir bahwa hal yang baik

terjadi di tempat lain. Itu sebabnya, orang yang tidak sabar ingin pindah ke

tempat itu. Bagi orang yang tidak sabar, setiap momen dalam penantian

menjadi sesuatu yang kosong alias tanpa makna. Namun, orang yang sabar

berani untuk tinggal di mana mereka ditempatkan. Kehidupan yang bersabar

adalah hidup secara aktif pada saat ini dan menunggu di situ. Menunggu

tidak pernah pasif. Saat menunggu, kita merawat setiap momen seperti

seorang ibu kepada anaknya yang beranjak dewasa bersama dia. Zakaria,

Elisabet dan Maria menghidupi setiap momen. Itu sebabnya, mereka dapat

mendengarkan malaikat karena mereka mawas terhadap suara yang

berbicara kepada mereka, “Jangan takut. Sesuatu sedang terjadi pada

dirimu. Arahkan perhatianmu!”


Mari kita lihat lebih jauh. Menunggu menyiratkan keterbukaan. Menunggu

dengan sikap terbuka itu sulit karena kita cenderung suka menunggu sesuatu

yang konkrit. Kita menunggu sesuatu yang kita bisa bayangkan. Banyak

penantian kita terkait dengan pekerjaan tertentu, cuaca yang cerah dan jalan

keluar dari penderitaan. Kita punya banyak keinginan akan hal ini dan itu

sehingga penantian kita seringkali dirusak oleh segudang keinginan tersebut.

Akhirnya, penantian kita malah menjadi cara kita mengendalikan masa

depan. Kita ingin masa depan bergerak menuju agenda diri kita. Bila tidak

mencapai agenda itu maka kita kecewa dan berputus asa. Itu sebabnya,

menunggu begitu sulit. Kita ingin melakukan segala upaya demi mewujudkan

apapun yang kita inginkan. Di sinilah kita bisa melihat kaitan antara aneka

keinginan dan ketakutan.


Zakaria, Elisabet dan Maria tidak diganggu dengan aneka keinginan diri

mereka. Mereka hanya dipenuhi oleh pengharapan yang datang dari luar diri

mereka. Pengharapan adalah hal yang benar-benar berbeda. Pengharapan

adalah percaya pada sesuatu yang akan tergenapi tetapi dalam cara yang

sesuai dengan janji itu sendiri. Bukan semata-mata berdasarkan hasrat

pribadi kita. Pengharapan selalu bersifat terbuka pada segala kemungkinan.


Sekali lagi, saya melihat ini benar-benar penting dalam kehidupan saya

sendiri di mana saya melepaskan segala hasrat pribadi tetapi mulai

memegang pengharapan. Di saat saya rela melepaskan keinginan pribadi

maka sesuatu yang baru, sesuatu yang di luar perkiraan saya bisa terjadi

pada diri saya. Mari kita kembali pada Maria yang berkata, “Aku hanyalah

hamba Tuhan. Terjadilah pada diriku sebagaimana yang Engkau inginkan,”

(Lukas 1:38). Seolah-olah dia berkata, “Aku memang masih tidak paham atas

semua perkara ini tetapi aku yakin bahwa ada hal yang baik sedang terjadi

pada diriku.” Maria begitu percaya sehingga penantiannya menuntun dia

kepada segala kemungkinan. Dan dia tidak mau mengendalikan keadaan.


Menunggu dengan sikap terbuka pada segala kemungkinan adalah sikap

yang sangat radikal dalam menjalani kehidupan. Demikian juga mempercayai

sesuatu yang akan terjadi pada diri kita bisa membawa kita pada banyak hal

yang di luar bayangan kita. Kita melepaskan keinginan untuk mengendalikan

masa depan dan membiarkan Allah yang menentukan kehidupan kita.

Beriman bahwa Allah akan membentuk kita berdasarkan kasih-Nya dan

bukan ketakutan kita.


Kehidupan rohaniah adalah sebuah kehidupan di mana kita menunggu, hadir

secara aktif di setiap momen, meyakini bahwa hal-hal yang baru akan terjadi

pada diri kita, hal-hal yang baru melampaui perkiraan kita. Oleh karena itu,

menunggu benar-benar merupakan sikap yang sangat berlawanan dengan

dunia yang menuntut kontrol.


Sekarang, saya mau bicara tentang praktek menunggu. Bagaimana kita

menunggu? Salah satu nats indah dalam Alkitab, yaitu Lukas 1:39-56,

menegaskan betapa pentingnya menunggu bersama-sama, sebagaimana

yang dicontohkan oleh Maria dan Elisabet. Apa yang terjadi ketika Maria

menerima ucapan janji dari Allah? Dia pergi mengunjungi Elisabet. Sesuatu

juga terjadi pada diri Elisabet. Namun, bagaimana mereka berdua menjalani

kejadian atas diri mereka ini?


Saya melihat pertemuan antara kedua wanita ini sangat mengharukan

karena kebersamaan mereka saling memampukan satu dengan yang lainnya.

Kunjungan Maria menyadarkan Elisabet akan apa yang sedang dia tunggu.

Anak dalam kandungan Elisabet meloncat kegirangan. Maria meneguhkan

penantian Elisabet. Dan Elisabet berkata kepada Maria, “Berbahagialah ia,

yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan

terlaksana.” Maria pun meresponi, “Jiwaku memuliakan Tuhan.” Maria

meledak dalam sukacita yang besar. Kedua wanita ini saling menciptakan

ruang bagi satu dengan yang lain untuk menunggu. Mereka saling

mengonfirmasi bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dan patut untuk

dinantikan.


Menurut saya, inilah model komunitas Kristen yang sejati. Kumpulan orang-

orang yang saling mendukung, merayakan dan meneguhkan sehingga setiap

orang dapat menunggu apa yang sudah hadir dari diri mereka. Pertemuan

Elisabet dan Maria adalah salah satu ekspresi yang sangat menakjubkan

dalam Alkitab yang mengajarkan kita bagaimana membentuk komunitas

yang saling membantu dan berkumpul demi sebuah janji, serta saling

menguatkan bahwa ada hal yang besar sedang terjadi.


Bukankah itu tujuan saling mendoakan? Kita datang bersama kepada janji

Allah. Bukankah itu motivasi dari ibadah? Kita merayakan apa yang sudah

ada dalam diri kita. Bukankah itu yang ditampilkan oleh Perjamuan Kudus?

Kita bersyukur atas “benih iman” yang telah ditanamkan dalam diri kita.

Semua praktek itu berkata, “Kami sedang menunggu Allah yang sudah

menyatakan diri-Nya kepada kami.”


Keseluruhan makna dari komunitas Kristen terletak pada saling menyediakan

ruang bagi setiap anggotanya untuk menunggu sesuatu yang sudah kita

alami. Komunitas Kristen adalah tempat di mana kita menjaga iman tetap

menyala dan memperlakukannya secara serius, sehingga dapat terus

bertumbuh dan menjadi kuat dalam diri kita. Melalui sikap inilah maka kita

dapat hidup dengan keberanian. Kita percaya bahwa ada suatu kuasa rohani

dalam diri kita yang memampukan kita untuk mengarungi kehidupan di dunia

tanpa terus menerus digerus oleh keputusasaan, keterhilangan dan

kegelapan. Di sinilah, kita dengan tegas mengatakan bahwa Allah adalah

Sang Kasih sekalipun kita melihat kebencian mengelilingi kita. Kita dapat

menyerukan bahwa Allah adalah Sang Sumber kehidupan sekalipun kita

melihat kematian, kerusakan dan kesusahan mengepung kita. Kita

menghadapinya bersama. Kita saling mengingatkan. Menunggu bersama,

saling mengasuh apa yang sudah ditanamkan dalam diri kita sambil

menantikan penyempurnaannya kelak. Sikap yang sama diterapkan juga

dalam pernikahan, persahabatan, komunitas dan kehidupan Kristen.


Penantian kita selalu dibentuk oleh perhatian kita pada firman. Ini adalah

penantian atas Sang Pribadi yang juga berbicara kepada kita.

Pertanyaannya, apakah kita sudah di tempat yang tepat? Kita perlu

menunggu bersama di tempat yang sudah disediakan secara rohani sehingga

ketika firman itu disampaikan maka kita bisa mewujudkannya. Itu sebabnya,

Alkitab harus selalu berada di pusat persekutuan kita. Kita membaca firman

agar menjadi nyata dan menghembuskan nafas baru dalam kerohanian kita.


Simone Weil, seorang penulis Yahudi, berkata, “Menunggu dengan sabar

dalam pengharapan adalah landasan dari seluruh kehidupan rohani.” Ketika

Yesus berbicara tentang akhir zaman, Dia mengajarkan persis tentang

pentingnya menunggu. Dia berkata bahwa bangsa-bangsa akan berperang

satu dengan yang lainnya. Bencana alam akan menebar penderitaan di

mana-mana. Manusia akan tenggelam dalam kesakitan. Dan mereka akan

berkata, “Kristus sudah di sini!” Banyak orang sangat kecewa karena merasa

ditipu. Namun, Yesus berkata bahwa engkau harus selalu siap sedia, tetap

siaga, terhubung dengan firman Tuhan sehingga engkau bisa melalui semua

yang akan menghadang dirimu dan engkau dapat berdiri teguh di hadapan

hadirat Allah bersama dalam komunitas (lihatlah Matius 24). Itulah sikap

menunggu yang menolong kita menjadi manusia yang mampu hidup di

tengah dunia yang kacau dengan kerohanian yang utuh.

124 views0 comments

Recent Posts

See All

Opmerkingen


bottom of page