Bobby Jamieson
Sumber: thegospelcoalition.org
Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)
Apakah baptisan dan perjamuan kudus dapat dilakukan secara online?
Dalam situasi yang kita tidak tahu kapan berakhirnya ini, gereja-gereja di pelbagai belahan dunia tidak lagi dapat berkumpul bersama. Banyak gembala memeras otak untuk mencari solusi. Tidak ada buku panduan baku untuk masalah ini. Ketika gereja tidak dapat berkumpul seperti biasa secara ragawi maka apa yang dapat kita lakukan untuk menguatkan dan menumbuhkan umat Allah?
Kebanyakan gereja-gereja Injili memanfaatkan live streaming atau hal yang serupa untuk menghadirkan ibadah Minggu. Meskipun ada yang menentang tetapi saya sendiri tidak menemukan Alkitab melarangnya. Akan tetapi, bagaimana dengan baptisan dan perjamuan kudus? Dapatkah kedua sakramen tersebut dilakukan secara jarak jauh? Untuk baptisan, mungkin masih bisa. Namun, untuk perjamuan kudus, tidak bisa.
Mari saya garisbawahi tujuan dari artikel ini bukanlah untuk menyalah-nyalahkan para gembala, tetapi sesederhana memperlihatkan panduan Alkitab. Ketika kita tidak punya contoh-contoh praktis yang dapat menjadi tuntunan maka menjadi sangat penting untuk berpaling kepada firman Tuhan yang pasti memimpin setiap langkah kita.
Pertama kita akan membicarakan tentang baptisan. Setelah itu, barulah perjamuan kudus.
BAPTISAN
Dalam Matius 28:19, Yesus memberikan perintah, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Pertanyaan paling mendasar adalah, apakah hal ini dapat dilakukan tanpa pertemuan muka dengan muka antara yang membaptiskan dan dibaptiskan? Kata Yunani untuk “baptis” bermakna masuk ke dalam air. Poin utama dari baptisan adalah tindakan lahiriah menenggelamkan diri ke air untuk mencerminkan realitas rohani akan kesatuan kita dengan Kristus dalam kematian, penguburan dan kebangkitan-Nya (Roma 6:1-4). Dalam perintah Yesus ini, tanggung jawab untuk membaptiskan terletak di pundak mereka yang bertugas untuk memuridkan orang lain. Tanggung jawab untuk dibaptiskan ada pada mereka yang mau menjadi murid. Yang memuridkan menenggelamkan. Yang dimuridkan ditenggelamkan.
Jadi menurut saya, tidaklah mungkin untuk baptisan secara virtual. Perintahnya bukanlah “beri tahu mereka untuk membaptiskan diri sendiri,” melainkan “baptislah mereka.”
Sekalipun kita berada di masa yang sangat tidak normal, saya tetap percaya bahwa gereja tidak bisa kompromi tentang bagaimana seseorang dibaptiskan (patut dipertimbangkan untuk menunda baptisan sampai kita benar-benar bisa berkumpul kembali). Sebagai contoh, sangatlah tepat bila baptisan diadakan di tengah pertemuan seluruh jemaat karena baptisan bukan perkara pengakuan iman seseorang secara individual tetapi seluruh gereja juga akan mengakui iman orang tersebut dan selanjutnya menerima dia ke dalam komunitas gereja (Kisah Para Rasul 2:38-41).
Baptisan mengikat seseorang kepada seluruh jemaat. Itu sebabnya, kehadiran jemaat sebagai saksi adalah perwujudan yang indah akan kebenaran ini. Namun, ketika jemaat dilarang datang ke gereja maka masih bisa dimaklumi bila seorang gembala, sebagai perwakilan yang diberikan wewenang oleh jemaat, untuk membaptiskan seseorang meskipun tidak disaksikan jemaat lainnya. Bukankah baptisan Filipus atas sida-sida dari Etiopia juga terjadi tanpa saksi sama sekali (Kisah Para Rasul 8:38)? Baptisan yang diadakan di sebuah bathtub memang kurang ideal. Namun, ini tetaplah sebuah baptisan yang sah.
PERJAMUAN KUDUS
Hal yang sama tidak berlaku bagi perjamuan kudus yang dilakukan oleh gereja yang terpisah-pisah karena kegiatan fisik berkumpul sangatlah esensial dalam perjamuan kudus. Dalam 1 Korintus 11, Paulus menyebutkan sebanyak lima kali bagaimana jemaat Korintus menyelenggarakan perjamuan kudus saat mereka berkumpul bersama sebagai sebuah gereja di satu tempat dan di satu waktu yang sama (ayat 17-18, 20, 33-34).
Namun, apakah ini hanya kebetulan saja bahwa mereka melakukan demikian atau memang kita harus seperti itu juga? Apakah kehadiran fisik dari jemaat dalam perjamuan kudus tidak bisa ditawar-tawar lagi? Paulus akan menjawab, “Ya!” Mari pertimbangkan 1 Korintus 10:17, “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” Perjamuan kudus menyatakan kesatuan gereja. Orang-orang berhimpun untuk memakan roti yang sama di tempat yang sama sehingga menyatukan mereka (bila baptisan mengikat satu orang ke semua orang maka perjamuan kudus membuat semua orang menjadi satu). Bila kita melakukan perjamuan kudus yang bukan duduk bersama dalam satu ruangan maka ini bukan lagi perjamuan kudus.
Jadi, saya berpendapat bahwa perjamuan kudus yang dimediasi secara virtual tetapi terpencar secara fisik bukanlah perjamuan kudus yang kurang optimal. Bagi saya, ini bukanlah perjamuan kudus sama sekali.
PERJAMUAN INI DAN PERJAMUAN ITU
Semua penderitaan melibatkan kehilangan dan setiap kehilangan adalah bentuk penderitaan. Saat sekarang, di tengah begitu banyak kehilangan dan penderitaan yang ada, orang Kristen di seluruh penjuru dunia sedang menderita kehilangan persekutuan ragawi setiap Minggu. Belas kasihan mendorong kita untuk mengatasi rasa kehilangan ini dengan cara yang kita bisa. Namun, kita tidak bisa benar-benar menghilangkan rasa kehilangan ini. Itu sebabnya, kita harus belajar dari apa yang sudah diajarkan oleh Allah melalui kehilangan sementara akan perjamuan kudus yang ragawi. Perjamuan bersama Kristus harus dihentikan untuk saat ini. Apa yang kita dapat pelajari dalam masa “berkabung” ini (Pengkhotbah 7:2, 4)?
Perjamuan kudus itu sendiri tidak semata-mata untuk memuaskan hati kita dengan kebaikan Kristus tetapi juga mempertajam hasrat kita untuk melihat wajah-Nya kelak, “Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku.” (Matius 26:29)
Kiranya penundaan perjamuan kudus ini memperdalam rasa lapar kita akan perjamuan di masa depan.
Comments