MARK VROEGOP
Sumber: desiringgod.org
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Kita hadir di dalam dunia dengan sebuah tangisan. Walaupun tidak ada seorang pun dari kita mengingat momen itu, setelah meninggalkan rahim ibu kita yang hangat, aman, dan nyaman suara pertama yang keluar dari diri kita adalah sebuah protes yang lantang. Kita masuk dalam dunia dengan ratapan. Menangis itu manusiawi.
Namun, kita bukanlah satu-satunya bagian dari ciptaan yang mengekspresikan penderitaan. Rasul Paulus mengatakan bahwa seluruh ciptaan mengeluh (Roma 8:22). Dengan jatuhnya Adam, dunia ciptaan Allah juga terinfeksi dengan efek kehancuran yang dibawa oleh dosa. Kematian adalah pengingat yang paling nyata bahwa ada yang tidak beres dengan dunia ini. Namun, ada juga beberapa contoh lain, misalnya: kanker, kecanduan, pernikahan yang gagal, konflik dalam relasi, kesepian, dan abuse (perlakuan yang kejam).
Kita tidak berhenti menangis setelah peristiwa kelahiran. Kita terus menangis karena dunia ini rusak. Meski air mata dan penderitaan adalah bagian dari kemanusiaan kita, ada sebuah bahasa doa dalam Alkitab yang berguna bagi perjalanan kita melewati dunia yang rusak ini tapi sering terabaikan, yaitu ratapan.
Apa itu Ratapan?
Sebenarnya, ratapan tidak sama dengan menangis. Ratapan dan tangisan adalah dua hal yang berbeda. Dan ratapan adalah keunikan Kristiani.
Alkitab dipenuhi dengan lagu penderitaan semacam ini. Lebih dari sepertiga kitab Mazmur adalah ratapan. Kitab Ratapan sendiri menangisi kehancuran Yerusalem. Yesus meratap dalam jam-jam terakhir kehidupan-Nya.
Namun, ratapan berbeda dari tangisan karena ratapan adalah sebuah bentuk doa. Ratapan lebih dari sekadar ekspresi penderitaan atau pelampiasan emosi. Ratapan berbicara kepada Allah tentang duka. Dan ratapan memiliki tujuan yang unik: percaya. Ratapan adalah undangan ilahi untuk menumpahkan segala ketakutan, rasa frustrasi, dan penderitaan kita yang bertujuan untuk menolong kita membarui keyakinan dalam Allah.
Empat Elemen Ratapan
Seperti yang diilustrasikan Mazmur 13, kebanyakan ratapan mengandung empat elemen dasar:
Berpaling kepada Allah. Sering kali ratapan dimulai dengan seruan kepada Allah: “Berapa lama lagi, TUHAN, Kau lupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kau sembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” (Mazmur 13:2). Intinya, pribadi yang sedang berduka memilih untuk berbicara kepada Allah tentang apa yang sedang terjadi.
Membawa keluhan. Setiap ratapan mengandung semacam keluhan: “Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?” (Mazmur 13:3). Lebih dari sebuah pengulangan kemarahan yang penuh dosa, ratapan yang alkitabiah mengenali penderitaan, berbagai pertanyaan, dan rasa frustrasi yang berkecamuk dalam jiwa kita dengan penuh kerendahan hati dan kejujuran.
Dengan berani memohon pertolongan. Mencari pertolongan Allah ketika berada dalam penderitaan adalah sebuah tindakan iman: “Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati, supaya musuhku jangan berkata: ‘Aku telah mengalahkan dia,’ dan lawan-lawanku bersorak-sorak, apabila aku goyah” (Mazmur 13:4-5). Duka yang tiada henti dapat menyebabkan kesepian yang mematikan kala kita menyerah dalam keputusasaan (“tidak ada lagi harapan”) atau penyangkalan (“semua baik-baik saja”). Namun ratapan mengundang kita untuk berani berharap dalam janji Allah ketika kita memohon pertolongan-Nya.
Memilih untuk percaya. Inilah tujuan dari ratapan-ratapan kita. Semua jalan memimpin kita kepada titik ini: “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku” (Mazmur 13:6). Lebih dari berbagai tahap duka, bahasa doa ini mendorong kita untuk membarui komitmen kita untuk percaya kepada Allah ketika kita mengembara dalam kehancuran hidup.
Ratapan adalah bahasa doa bagi umat Allah kala mereka tinggal dalam dunia yang dinodai oleh dosa. Inilah car akita berbicara kepada Allah tentang kedukaan kita ketika kita membarui harapan kita dalam pemeliharaan-Nya yang berdaulat. Menangis itu manusiawi, tetapi meratap itu kristiani.
Mengapa Ratapan itu Kristiani?
Praktik ratapan adalah salah satu tindakan paling memiliki dasar teologis yang dapat dilakukan seseorang. Sementara menangis adalah hal yang mendasar bagi kemanusiaan, umat Kristen meratap karena mereka tahu Allah berdaulat dan Dia baik. Umat Kristen tahu janji-janji Allah dalam kitab suci. Kita percaya dalam kuasa Allah yang membebaskan. Kita tahu kubur itu kosong, dan Yesus hidup.
Walau demikian, kita masih mengalami penderitaan dan duka. Ratapan adalah bahasa untuk menjalani berbagai titik kehidupan yang keras dan tetap memercayai kedaulatan Allah. Ratapan adalah sebuah bentuk doa bagi orang-orang yang menantikan hari di mana Yesus akan datang kembali dan meluruskan segala sesuatu. Umat Kristen tidak hanya sekadar berkabung; kita merindukan Allah mengakhiri kesengsaraan ini.
Doa-doa ratapan membutuhkan iman. Berbicara pada Allah, dan bukan memilih kemarahan yang penuh dosa atau kepahitan, membutuhkan keyakinan yang didasarkan pada firman. Membeberkan berbagai pergumulan jiwa yang berantakan dan kemudian memohon –lagi dan lagi– agar Allah menolong Anda membutuhkan tambatan teologis yang kukuh. Ratapan membawa kita berpaling kepada Allah ketika penderitaan menggoda Anda untuk lari dari Dia.
Ratapan mengartikan dunia melalui cara pandang alkitabiah. Umat Kristen meratap karena kita tahu kisah besar dari rancangan Allah: penciptaan, penebusan, dan pemulihan. Kita tahu penyebab dari semua ratapan: dosa. Dan kita membaca di kitab Wahyu tentang kesudahan dari semua ratapan, “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Wahyu 21:4)
Karena itu, umat Kristen tidak hanya meratapi kehancuran dunia ini, tetapi kita juga menanti-nantikan hari di mana semua ratap tangis itu berakhir. Kita bertanya, “Berapa lama lagi, TUHAN?” (Mazmur 13:2). Semua orang bisa menangis. Namun hanya umat Kristen yang bisa meratap dengan penuh iman.
Belajar untuk Meratap
Karena hidup itu penuh penderitaan dan karena Alkitab sangat jelas akan rancangan Allah, umat Kristen haruslah menjadi para peratap yang ahli. Kita seharusnya bicara kepada Allah secara rutin tentang berbagai penderitaan dan pergumulan kita. Umat Kristen seharusnya belajar untuk meratap.
Salah satu cara untuk memulainya adalah dengan membaca berbagai Mazmur ratapan dengan rutin. Mulailah dengan Mazmur 10, 13, 22, dan 77. Kemudian lanjutkanlah dengan lebih dari 40 ratapan lain dalam kitab Mazmur. Anda akan menemukan berbagai Mazmur ratapan untuk duka pribadi dan penderitaan korporat. Ada beberapa ratapan untuk masa pertobatan dan juga untuk masa ketika Anda merindukan keadilan. Anda mungkin akan dikejutkan dengan betapa terhubungnya Anda dengan kata-kata yang Anda baca. Dalam waktu singkat, meratap bisa menjadi sangat personal.
Pendekatan yang lain adalah memelajari sebuah Mazmur ratapan dengan mencari masing-masing dari empat elemen yang disebutkan di atas: berpaling kepada Allah, membawa keluhan, dengan berani memohon, dan memilih untuk percaya. Ketika Anda menemukan contoh-contoh dari tiap elemen, pertimbangkan untuk menulis ratapan Anda sendiri. Perhatikan apakah Anda dapat mengikuti alur dari nats yang ada ketika Anda menceritakan kepada Allah tentang pergumulan Anda. Ingatlah bahwa setiap Mazmur ditulis oleh pribadi yang nyata dengan berbagai masalah yang nyata. Menulis ratapan Anda sendiri menggabungkan teologia yang kaya dengan emosi yang nyata secara begitu indah.
Hingga Yesus datang kembali, dunia ini masih akan ditandai dengan banyak air mata. Anak-anak akan terus dilahirkan dan tangisan pertama mereka akan mengumumkan kedatangan mereka ke tengah dunia yang hancur. Menangis itu manusiawi, tetapi meratap itu kristiani.
Comments