E. M. WELCHER
Sumber: thegospelcoalition.org
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Saya mengingat dia–kulit kecokelatan, rambut yang baru dipotong dan diwarnai, mengenakan kacamata hitam dengan pinggiran kuning–menangkap bola di pertandingan baseball Royals dengan tangan kosongnya. Ia memberikan bola itu kepada seorang anak, membuat seorang laki-laki dewasa yang duduk di sebelah kami menggeram kesal. Hari itu adalah ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Daniella, yang berasal dari St. Louis, pasti lebih suka menonton pertandingan Cardinals, tetapi kami tinggal lebih dekat dengan Kansas City.
Natal tahun itu, ia mencium saya di dekat pohon Natal, dengan kepala gundul karena kemoterapi.
Penderitaan dan kematiannya hanya terasa menyakitkan ketika saya memikirkannya. Fotonya masih membuat mata saya berkaca-kaca dengan air mata dan membuat sesak napas saya, enam tahun setelah kepulangannya. Saya adalah laki-laki yang malang, dan siapakah yang akan melepaskan saya dari beban kematian ini?
Kedatangan Kristus yang kedua kali telah membuat saya belajar untuk meletakkan beban yang amat berat karena cinta sejati yang direnggut oleh maut. Sedangkan kedatangan Kristus yang pertama mengingatkan saya bahwa Allah juga memahami cinta yang berinkarnasi dan direnggut oleh maut.
Membayangkan Kedatangan yang Kedua
Saya mendapati diri saya melamunkan hari kebangkitan itu, kedatangan Kristus yang kedua. Seperti sebuah lukisan impresionis yang menjadi semakin jelas, seperti kabut pagi hari yang terbakar habis oleh terbitnya fajar.
Semua yang mati dalam Kristus dibangkitkan–yang besar, yang kecil, yang terhormat, yang kejam, yang luar biasa, dan yang biasa saja. Orang-orang yang saya kenal dibangkitkan–orang-orang terkasih yang saya rindukan selama tahun-tahun panjang yang penuh pergumulan (Wahyu 20:11-15).
Ketidakadilan dijungkirbalikkan oleh Sang Raja-Tukang Kayu yang disalibkan; air mata dihapuskan selamanya (Wahyu 21:4-5). Segala hal dikembalikan sebagaimana mestinya dan akhirnya menjadi seperti yang Allah rancangkan dahulu kala, ketika Ia melihat semua hasil karya tangan-Nya dan menilainya baik (Kejadian 1).
Apa itu Adven?
Namun, ketika saya terbangun dan kembali pada kenyataan masa kini yang menyakitkan, saya membutuhkan sesuatu untuk dipegang dan disandari oleh hidup ini. Itulah Adven. Adven adalah paku berkarat yang memegang kita untuk tetap bertahan hingga hari kebangkitan itu.
Adven adalah iman yang dimenangkan dengan susah payah yang Kristus berikan ketika Ia pertama kali mengerjakan ladang hati kita menjadi tanah yang subur; ketika kita pertama kali percaya bahwa Terang dunia masih bersinar di tengah kegelapan yang penuh keputusasaan. Ketika kita merayakan Adven, kita menjadi berani untuk mengecap dan melihat bahwa Allah itu baik di tengah kesedihan masa kini (Mazmur 34:8).
Lalu, Ia … pergi
Para nabi di zaman dahulu melihat jauh ke masa depan dan melihat inkarnasi Anak Allah. “Allah menyertai kita” (Matius 1:23) adalah sebuah bintang supernova dalam kegelapan–kegelapan yang sejak dahulu kala telah mencekik leher kemanusiaan dengan cakarnya.
Namun Yesus! Puji nama-Nya! Yesus Kristus–lahir dari anak dara Maria, disalibkan, mati, dan dikuburkan–mengambil kembali hidup yang sama yang telah Ia serahkan (Yohanes 10:18) dan bangkit dari kubur yang dingin, mengalahkan maut setelah memadamkan bara kehidupan kudus-Nya.
Dan kemudian Ia … pergi.
Mungkin kalimat di atas bukan seperti apa yang disampaikan oleh para hamba Tuhan, tetapi itulah yang dirasakan oleh banyak umat Tuhan saat ini. Dan kemudian Ia pergi, desah mereka, merasa bahwa Allah telah meninggalkan mereka di tengah kegelapan yang penuh penderitaan.
Kita Membutuhkan Adven
Kita, para hamba Tuhan, pastinya akan berkata bahwa Sang Raja-Tukang Kayu yang disalibkan itu tidak menelantarkan umat-Nya. Secara teologis hal ini benar. Namun, panggilan yang dimiliki semua orang dalam persekutuan penderitaan-Nya adalah panggilan untuk menghidupi hari-hari dengan memikul salib, baik dalam pikiran maupun dalam perbuatan. Dan panggilan ini mengharuskan kita berjalan, tertatih-tatih dan pincang, dan merangkak pada jalan Kristus yang penuh debu dan sempit–tetap bertahan, dengan iman, sampai kesudahannya.
Bertemu orang-orang dengan pemikiran teologis yang cerdas tidaklah cukup. Tidak, Anda harus berjumpa dengan orang-orang dalam pertempuran emosi mereka. “Maka menangislah Yesus” (Yohanes 11:35). Inilah kasih. Dan inilah alasan Adven sangatlah penting, dan menjadi sangat bermakna tahun ini, dibandingkan sebelumnya.
Apa yang akan Anda berikan kepada saudara dalam Kristus yang sangat kelelahan dan kepayahan jika bukan pengharapan Adven?
Adven menolong para orang kudus untuk terus bertekun hingga Ia yang memulai pekerjaan baik di dalam kita akan meneruskannya hingga berbuah lebat (Filipi 1:6). Hal ini mengingatkan kita bahwa para nabi di zaman dahulu dengan penuh kerinduan menatap ke masa depan dan menemukan pengharapan kedatangan Kristus (1 Petrus 1:10-12). Pengharapan mereka adalah pengharapan yang sama yang kita temukan di kedatangan Kristus yang pertama. Dan seperti para nabi ini, kita juga menatap ke masa depan, menantikan kedatangan-Nya kembali.
Karena di tempat ini dan sekarang ini, kita semua adalah pengembara dalam lembah kekelaman maut, berjuang untuk terus berjalan di antara dua adven Allah dan Raja kita.
Meneguhkan Hati
Mungkin Anda telah berdoa, di tengah malam yang teramat sunyi, Ya Tuhan, berapa banyak lagi kesedihan yang dapat dicurahkan ke dalam sebuah bejana kehidupan yang rapuh, yang dibentuk dari tumpukan debu, sebelum ia hancur dan lebur?
Ombak kebangkitan yang hangat pada akhirnya akan benar-benar mencairkan hati yang beku dan memulihkan yang tercabik-cabik. Maka teguhkanlah hati, saudara yang kekasih. Hari kebangkitan segera datang.
Sampai hari itu tiba, bagaimana pun juga, kita membutuhkan Adven.
Comments