top of page
Writer's pictureWOW Ministry

DARI PENONTON PASIF MENJADI PENYEMBAH AKTIF

ZAC HICKS

Sumber: zachicks.com

Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)



Ibadah kontemporer terus-menerus mendapat kritik karena melahirkan penonton, tapi sesungguhnya saya telah melihat sendiri ibadah yang pasif dalam berbagai spektrum gaya ibadah. (Saya melihatnya di gereja saya sendiri setiap Minggu di DUA ibadah yang ada, pada ibadah yang “tradisional” dan yang “kontemporer”.) Para jemaat, baik saat berdiri maupun duduk dengan pandangan mata kosong dan bahasa tubuh yang sedikit dan bahkan tidak ada gerakan, menatap ke arah pemimpin, layar, warta gereja, atau lembar nyanyian.


Ibadah yang pasif seperti di atas perlu obat penawar, dan sebagai pemimpin ibadah sering kali kita menawarkan edukasi sebagai jalan keluar. Kita akan mengingatkan jemaat bahwa ibadah bukan seperti menonton pertandingan olahraga, bahkan para pemimpin ibadah tidak sedang menampilkan hiburan untuk mereka, dan bahwa ibadah adalah persembahan kita kepada Allah. Kita melakukan edukasi ini dalam bentuk imbauan yang lemah lembut hingga peringatan yang penuh empati. Belum lama ini dalam sebuah rekaman, Anda bisa mendengar Joel Houston, seorang pemimpin dari Hillsong United berkata dengan jelas, “Ayo, jangan menjadi penonton, mari kita semua menyanyi.” Saya percaya kita semua bisa membayangkan apa yang dia lihat di gedung itu sehingga dia berkata seperti demikian.


Pemimpin yang lain mencoba menciptakan perubahan situasional sebagai jalan keluar. Banyak yang dengan benar mengidentifikasi pengaturan ruang ibadah sebagai penghalang terlaksananya ibadah dengan partisipasi yang baik; ruang ibadah menyampaikan pesan penting kepada jemaat. Jika kita memiliki panggung yang besar dengan sistem pencahayaan yang baik, membuatnya terlihat lebih menyerupai konser rock daripada sebuah ibadah. Pesan yang tersampaikan kepada jemaat adalah: “Hei, Anda ada di sini untuk dihibur dan disenangkan, jadi duduk yang nyaman dan bersantailah sejenak.” Jika kita memiliki gedung yang tradisional dengan deretan bangku gereja yang menghadap ke depan ruangan; pengaturan ini menyampaikan pesan yang sama: “Yang terpenting hanya terjadi di depan sana; perhatikan saja.” Dalam hal ini, kita meyakini bahwa arsitektur ruang ibadah menyampaikan sebuah pesan dan membentuk sebuah budaya.


Namun, semua hal yang disebutkan di atas hanya mengungkap setengah dari masalah yang sesungguhnya. Ada sebuah isu hati yang mendalam yang harus dipikirkan dengan serius, dan isu penting ini adalah Injil. Jika kita sungguh percaya bahwa kabar baik tentang anugerah Allah melalui Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan agar kita diselamatkan dan dikuduskan, maka semua bentuk perubahan hidup yang sungguh haruslah berakar dan berdasar kuat pada hati yang makin dalam dan makin rindu menyelami Injil. Dalam artikel yang dipublikasikan lewat blog, Michael Horton menjabarkan isu ini dalam rangka mereseponi buku Emerging Worship karangan Dan Kimball. Horton menuliskan,


Pertimbangkan argumentasi dari Dan Kimball dalam buku Emerging Worship: Creating Worship Gatherings for New Generations (Grand Rapids: Zondervan, 2004). Kimball memberi nasihat, …kita perlu mengakui bahwa ibadah sebenarnya bukan tentang kita, para penyembah. Ibadah bukanlah tentang Allah memberi sesuatu kepada kita. Ibadah sesungguhnya adalah persembahan kita dalam bentuk pelayanan dan penyembahan kepada Allah – persembahan hidup kita, persembahan doa kita, persembahan pujian kita, persembahan pengakuan dosa kita, persembahan harta kita, persembahan pelayanan kita kepada sesama anggota tubuh Kristus” (halaman 3).


Kimball sedang merespons secara khusus kepada model konsumeris, di mana kita datang ke gereja “untuk mendapat sesuatu.” Sekalipun jawaban Beliau seakan memaknai ibadah lebih pada apa yang kita berikan ketimbang apa yang kita terima, saya percaya bahwa cara yang lebih Alkitabiah untuk menjelaskan hal ini adalah bahwa kita datang agar Allah memberitahukan kepada kita apa yang sebenarnya kita butuhkan (terlepas dari apa yang kita rasa kita butuhkan [“felt needs”]) dan Allah memberikan apa yang paling kita butuhkan. Masalah yang membuat (Kimball) resah – sebut saja, konsumerisme– tidak bisa diselesaikan dengan membuat ibadah berfokus pada apa yang kita lakukan! Bagaimana mungkin mengatakan “ibadah sebenarnya tentang apa yang kita lakukan” dapat mengatasi masalah yang (Kimball) jabarkan dengan benar tentang “membuat kita sebagai pusat ibadah dan bukan Tuhan pusatnya”?


[Sesungguhnya], masalah dalam banyak gereja kita hari ini terjadi bukan hanya karena kita kurang memusatkan hidup kita pada Allah. Masalahnya, bahkan dalam upaya kita menjadi lebih berpusat pada Allah, fokus kita ada pada apa yang kita lakukan dan bukan pada Allah dan karya-Nya yang luar biasa sehingga Ia memberikan Kristus bagi kita bersama dengan segala kemurahan-Nya bagi kita. Hanya ketika kita menemukan kembali penekanan Alkitabiah pada karya Allah yang ditujukan bagi kita –di tempat yang Ia tetapkan, di waktu yang Ia tetapkan, dan melalui cara yang Ia tetapkan, barulah kita menemukan keutamaan anugerah Allah dalam perjanjian dan kemurahan-Nya sebagai titik sentral. Hanya kemudianlah kebutuhan kita yang terdalam untuk ambil bagian secara regular dalam perjamuan Allah menjadi nyata. Kita datang ke gereja setiap Minggu bukan dengan tujuan utama untuk melakukan sesuatu, tetapi untuk menerima sesuatu lagi –dan tentunya, kemudian merespons dalam syukur. Memang benar bahwa ibadah bukan tentang kita, tapi ibadah sebenarnya untuk kita. Sesuatu yang tak terduga terjadi ketika kita berserah pada pemberian dan kemurahan ilahi ini: kita sesungguhnya menjadi aktif kembali dalam iman dan menghasilkan buah kasih dan pelayanan pada sesama.



Dalam kata lain, jika kita terlalu fokus pada upaya menanggulangi ibadah yang pasif dengan mengarahkan semua sumber daya kita pada ibadah yang aktif, kita sedang melewatkan kuasa yang memampukan terjadinya pergeseran yang kita harapkan, yaitu Injil. Hanya ketika kita sungguh-sungguh merebut, menangkap, menyerap, dan menerima kedalaman anugerah Allah melalui Kristus, api batiniah kita akan dikobarkan, melingkupi kita dalam partisipasi yang penuh gairah, utuh, dan aktif. Ini berarti ibadah kita haruslah menyatakan Injil dalam khotbah kita, dalam lagu-lagu kita, dalam doa-doa kita, dalam semua elemen ibadah, dan bahkan dalam stuktur ibadah. Ketika saya merancang ibadah untuk Minggu berikutnya, saya terus mencari kabar baik tentang siapa Yesus dan apa yang Ia telah lakukan, untuk disampaikan dalam berbagai posisi, paling tidak melalui empat sampai delapan cara yang berbeda dalam ibadah (selain melalui khotbah). Syukur pada Allah, kita sebagai umat Kristen telah mewarisi beberapa tradisi luar biasa yang menolong kita melakukan hal-hal ini, jika kita telah melakukannya dalam ibadah kita (untuk memahami lebih lanjut maksud saya, sila baca buku Christ-Centered Worship karya Bryan Chapell). Namun, bahkan jika saya tidak dapat meyakinkan Anda untuk menyukai tradisi-tradisi ini, tambatkan hati Anda pada Injil. Jadikan Pribadi dan perbuatan Kristus sebagai gerbang dan bintang utama ketika Anda menyembah Allah Bapa melalui Roh Kudus, dan, seiring waktu, ketika Anda setia menjalankan misi ini, Anda akan melihat buah dari partisipasi aktif di jemaat Anda. Saat itu dan hanya saat itulah, ketika ibadah Anda terendam dalam citarasa Injil, Anda akan dapat mengatasi berbagai isu, seperti arsitektur, edukasi, dan semua hal sekunder lain dengan benar.

175 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page