CAROL M. BECHTEL
Sumber: buku Touching the Altar, hal. 196-198.
Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)
Manusia modern dibanjiri dengan industri hiburan yang melimpah. Meskipun sebagian dari produk hiburan tersebut tidaklah salah pada dirinya sendiri, tetapi kehadirannya yang merembesi kehidupan sangat membentuk harapan-harapan kita. Karena kita begitu terbiasa dengan hiburan maka kita kerap menganggap bahwa ibadah pun harus berfungsi seperti sebuah hiburan.
Kita menunjukkan konsep ini melalui cara-cara yang halus. Misalnya, seberapa sering kita memperlakukan jemaat sebagai “penonton”? Apakah jemaatmu bertepuk tangan setelah sebuah “penampilan” musikal dalam ibadah? Apakah dalam gerejamu ada pintu khusus bertuliskan “pintu panggung”? Apakah Anda pernah mengeluh karena merasa “bosan” atas sebuah khotbah? Apa yang Anda harapkan ketika menyaksikan layar lebar terbentang di depan panggung gereja? Seberapa seringnya kita mendengar atau mengucapkan, “Saya tidak mendapatkan apa-apa dari ibadah pada hari ini...”?
Saya tidak mengatakan bahwa semua ibadah gereja harus selalu menginspirasi dan semua khotbah pasti tidak pernah membosankan (khotbah bisa membosankan, sekalipun Allah tidak!). Intinya, semua contoh di atas lahir dari konsep bahwa ibadah diperuntukkan sebagai hiburan bagi kita. Seharusnya ibadah tidaklah demikian, melainkan ibadah adalah bagi Allah. Kierkegaard pernah memberikan ilustrasi yang sangat jitu bahwa Allah adalah “sang penonton” dari ibadah kita. Walaupun saya lebih suka istilah “penonton” dibuang sama sekali.
Seperti anjing percobaan Pavlov, para penyembah meresponi sinyal-sinyal tertentu dalam cara yang mudah ditebak. Itu sebabnya, para pemimpin ibadah harus berhati-hati supaya tidak memberikan sinyal yang dapat mengaktifkan sikap jemaat semata-mata menjadi penonton dalam ibadah, baik secara sadar maupun tidak sadar. Salah satu cara sederhana yang kita bisa lakukan adalah dengan memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulut kita. Hindari menyebut jemaat sebagai “pemirsa”. Tolaklah godaan untuk bertingkah laku seperti seorang pemandu acara. Pastikan bahwa setiap tindakan liturgi dalam ibadah merupakan karya seluruh jemaat. Kita tidak sedang “manggung” untuk mereka. Kita adalah bagian dari jemaat. Berilah kesempatan kepada jemaat untuk menaikkan doa. Biarlah paduan suara dan kelompok pemusik lainnya secara tulus memimpin jemaat dalam nyanyian daripada menenggelamkan atau membingungkan mereka dengan musik yang tidak pas dalam ibadah.
Mari kita akui bersama. Terkadang, ibadah memang bisa seperti terapi. Namun, bila kita mengharapkan hal ini terjadi di setiap waktu maka kita pasti akan dikecewakan. Hal ini dikarenakan ibadah bukanlah tentang diri kita tetapi tentang Allah.
Gereja yang menganggap ibadahnya sebagai terapi telah melakukan kekeliruan setidaknya karena dua alasan. Bukan hanya orientasinya pada kepentingan manusia ketimbang Allah tetapi juga maksud “terapi” itu sendiri sudah salah sejak awal. Bagaimana mungkin seorang pemimpin ibadah dapat berfungsi secara maksimal sebagai “terapis” bagi begitu banyak jemaat yang hadir dalam ibadah pada setiap hari Minggu? Ada jemaat yang sedang berduka karena orangtuanya yang wafat. Ada yang sedang merayakan pekerjaan barunya. Ada jemaat yang harus ditegur atas kebiasaannya yang merusak. Ada jemaat yang harus diingatkan akan keberhargaan dirinya. Jika demikian, dari mana pemimpin ibadah harus memulai?
Seringkali, ibadah yang dirancang untuk memberi manfaat terapi akan fokus pada satu tugas spesifik ketimbang benar-benar melayani kebutuhan semua jemaat. Tugas tersebut hanyalah untuk membuat jemaat merasa lebih baik secara dangkal. Dorongannya semata-mata untuk membuat ibadah terasa menyenangkan sehingga tidak peduli apapun pergumulan jemaat saat ini, yang penting mereka meninggalkan gedung gereja dengan rasa bersemangat dan bangga.
Keputusan-keputusan aneh juga akan diambil berdasarkan asumsi dasar ini. Misalnya, pengakuan dosa akan dihapus karena dianggap terlalu murung atau dibuat sesopan mungkin sehingga tidak ada lagi ketajamannya. Khotbah dinilai menurut berapa banyak kisah yang menghangatkan hati daripada kesetiaan pada firman Tuhan. Musik dipilih bukan berdasarkan kecocokannya, tetapi kemampuannya untuk memanipulasi emosi jemaat. Doa syafaat ditiadakan karena ibadah tidak lagi mementingkan sesama, tetapi “diri saya”.
Sebaliknya, ibadah yang sungguh-sungguh menjadikan Allah sebagai pusat akan membungkam pertanyaan, “Apa yang bisa diberikan oleh ibadah ini kepada saya?” Kita datang ke dalam ibadah bukan untuk membuat diri kita merasa lebih baik, tetapi untuk memuliakan Allah yang jauh melampaui kita dan begitu mempedulikan kita. Ironisnya, dampak dari ibadah yang sejati seperti ini justru malah lebih sering membuat diri kita benar-benar baik karena memerdekakan kita dari belenggu cinta diri yang berlebihan. Pada akhirnya, kita disadarkan bahwa kita bukanlah pusat dari alam semesta, dan bahwa baik Allah maupun seluruh ciptaan-Nya patut mendapatkan perhatian kita yang terbaik.
Comments