Brett McCracken
Sumber: thegospelcoalition.org
Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)
Bagi para pemimpin gereja di manapun, beberapa bulan terakhir ini memberikan
rangkaian tantangan yang rumit dan bertubi-tubi dalam penggembalaan sebuah
gereja di masa Pandemi COVID-19. Tantangan berat terakhir malah baru akan
dihadapi: Bagaimana secara bijaksana memulai kembali pertemuan ibadah di
gereja?
Persoalan logistik saja masih menghantui seperti bagaimana mempertahankan jarak
sosial dalam kerumunan jemaat, apakah menggunakan masker, apakah bernyanyi
atau tidak, bagaimana dengan anak-anak, dan sebagainya. Sekarang, kita
diperhadapkan dengan kemungkinan perpecahan di antara kita. Para pemimpin
gereja sering mencerminkan keragaman keyakinan di masyarakat umum. Beberapa
pemimpin bersemangat untuk segera kembali ke keadaan sediakala di mana kita
bertatap muka satu dengan yang lain. Sementara, lainnya berpendapat bahwa
tidaklah bijaksana untuk berkumpul kembali selama vaksin belum ditemukan.
Sebagian besar berada di antara kedua pandangan ini.
Di tengah perbedaan pandangan ini, bagaimana gereja tetap menjaga kesatuannya
yang indah (Maz 133) dan terhindar dari perpecahan yang memalukan? Tentu tidak
akan mudah. Namun, dengan anugerah Allah dan kuasa Roh Kudus yang bekerja
untuk menyatukan kita sekalipun kedagingan kita sering berlawanan dengan-Nya,
kita memperoleh kesempatan untuk menghadirkan teladan yang unik di tengah
dunia.
Pengurbanan yang Berbeda dari Dunia
Sekalipun kita sering jatuh dalam dosa memberhalakan kepentingan diri sendiri,
sekarang saatnya bagi gereja untuk memperlihatkan kasih yang menempatkan
kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Sebagai contoh, Anda
termasuk yang menolak untuk memakai masker di gereja dan penjarakan 2 meter
dari orang lain. Anda menganggap aturan ini berlebihan. Sekalipun mungkin Anda
benar, tidak bisakah Anda mengurbankan idealismemu untuk sementara waktu?
Didorong dari hati yang mengasihi mereka yang menganggap bahwa aturan itu
masih dibutuhkan! Meski Anda menganggap mereka konyol dan pengecut karena
tetap berdiam di rumah setelah pembatasan ibadah di gereja dicabut, tidak bisakah
Anda mengindahkan nasihat Paulus dalam Roma 14:13, “Karena itu janganlah kita
saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan
kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!”? Atau dalam 1 Korintus 8:9,
“Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi
mereka yang lemah.”
Demikian pula, bagi mereka yang menyetujui pembatasan sosial harus dilanjutkan
tidak boleh menghakimi mereka yang berpikir sebaliknya. Gereja harus berupaya
keras untuk menghormati jemaat dari dua sudut pandang yang berbeda ini.
Memang gereja akan bayar harga ketika ia harus melanjutkan ibadah daring bagi
mereka yang masih belum nyaman menghadiri ibadah secara fisik. Memang jemaat
yang tidak suka akan masker, penjarakan sosial dan Zoom harus mengalah bagi
orang lain. Namun, hal kecil ini sangatlah kristiani (Roma 12:1). Kita harus
melakukannya dengan gembira.
Kerendahan Hati yang Berbeda dari Dunia
Apakah Anda memperhatikan begitu banyak orang merasa dirinya yang paling
benar? Keyakinan yang tidak ada dasarnya dari orang awam, pemimpin dan
mereka yang merasa dirinya “ahli” ternyata sangat menular seperti virus COVID-19.
Kini, kita bisa mempraktekkan kerendahan hati. Dan gereja harus menjadi teladan.
Orang Kristen patut mengikuti ajakan Yakobus untuk “cepat untuk mendengar, tetapi
lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (1:19). Mendengar
memang dapat memperlambat proses tetapi pantas dilakukan. Apapun pandangan
para pemimpin gereja tentang perihal dibukanya kembali gereja, mereka harus
menyediakan waktu untuk mendengarkan dengan rendah hati suara jemaat.
Sebaliknya, jemaat pun harus mencontoh kerendahan hati Kristus (Fil 2:3) dalam
bereaksi terhadap rencana yang dibuat oleh pemimpin mereka, meskipun ada hal-
hal yang tidak disetujui mereka. Tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim
bahwa ia memiliki solusi terbaik untuk melakukan semuanya ini. Marilah wujudkan
kerendahan hati dengan menyadari bahwa segala sesuatu memang tidak terlalu
jelas. Dan kita sedang berusaha sebaik mungkin untuk membangun di tengah
ketidakjelasan ini.
Kesabaran yang Berbeda dari Dunia
Kesabaran adalah salah satu nilai yang langka di zaman serba cepat ini. Dan, kita
jarang merasa pentingnya kesabaran itu. Banyak dari kita yang mau secepatnya
keluar dari isolasi rumah dan kembali ke kehidupan normal. Tentu saja, ini hal yang
baik bila kita bisa berkumpul kembali sebagai satu jemaat. Kita memegang apa
yang dikatakan Ibrani 10:25 bahwa kita tidak boleh menghindari pertemuan ibadah
bersama. Kita sepatutnya merindukan hal-hal yang tidak ada dalam pertemuan
secara daring. Setiap orang Kristen harus menginginkan hari di mana gereja virtual
diganti dengan gereja aktual. Hari itu pasti akan tiba. Namun, kita jangan terburu-
buru memaksakannya. Kita jangan bergerak lebih cepat daripada keputusan
pemerintah. Atau, lebih cepat daripada kesiapan jemaat itu sendiri.
Kita harus siap bersabar terhadap waktu penantian yang lebih lama daripada yang
kita harapkan; bersabar terhadap betapa berantakannya hari-hari pertama gereja
dibuka kembali; bersabar terhadap para pemimpin yang memikul beban berat;
bersabar terhadap satu dengan yang lainnya saat kita memasuki kenormalan yang
baru nanti. Mereka yang tidak nyaman dengan pertemuan ragawi harus bersabar
terhadap yang merasa nyaman. Demikian pula sebaliknya. Sesulit apapun
bersabar itu, percayalah bahwa masa transisi ini, entah dalam hitungan bulan atau
tahun, hanyalah sebuah kedipan dalam bingkai kekekalan.
Menyikapi Perbedaan
Kita hidup di zaman yang menganggap perbedaan sebagai permusuhan
(antinuansa). Jarang ada orang yang dapat dengan rendah hati menghormati
perbedaan sikap di tengah dunia yang terbelah-belah dalam pandangan mereka
akan apapun. Bila gereja ingin keluar dari krisis ini dengan kesatuan dan
persekutuan yang tetap utuh maka kita harus melawan kecenderungan dunia ini.
Kita harus menghindari sikap histeria terhadap pandangan yang bertolak belakang
dengan kita. Kita harus menyadari bahwa kebenaran tidaklah sederhana. Kita
harus menjunjung keberanian dan kehati-hatian sekaligus. Dan menghindari sikap
sembrono dan kepanikan. Sikap ini menghindarkan kita dari berpikir terlalu buruk
atas orang lain dan meyakini bahwa mereka yang berbeda pendapat juga ada
benarnya. Bahkan, kita pun terkadang bisa salah. Sikap ini lahir dari perpaduan
kerendahan hati dan kesabaran.
Tentu saja, ada hal-hal di mana orang Kristen tidak boleh berbeda pandangan.
Contoh terbaik adalah Injil Kristus yang harus kita junjung dengan komitmen
tertinggi. Demikian pula, semua perintah firman Tuhan.
Dorongan Paulus kepada gereja Efesus sangat mendesak bagi kita sekarang,
“Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan,
supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan
panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.
Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara
kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” (Efesus 4:1-3)
Comments