TREVIN WAX
Sumber: thegospelcoalition.org
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Masa pra-Paskah sepertinya makin dikenal di antara kaum muda Injili akhir-akhir ini. Sejak lama saya sudah melihat adanya perhatian pada pra-Paskah. Namun, inilah pertama kalinya saya memperhatikan banyak blogs dan tweets yang berusaha menyingkirkan praktik berpuasa dalam minggu-minggu menjelang Paskah.
Beberapa kaum muda Injili memaknai pra-Paskah sebagai kesempatan untuk menjalankan disiplin rohani yang memiliki akar sejarah yang panjang dalam berbagai sayap Kekristenan (Katolik Roma, Ortodoks dan banyak kaum Protestan menjalankan masa refleksi ini).
Kaum Injili lainnya memercayai bahwa pra-Paskah berpotensi mengarahkan kita kembali pada kekang penyesalan tiada akhir dan berbagai ritual yang umum ditemui dalam pengajaran Katolik Roma, yang telah ditentang secara tepat oleh para Reformator.
Ada yang berpendapat pra-Paskah adalah praktik bersejarah yang memiliki keuntungan rohani. Kelompok lain berkata sejarah mencatat bahwa kaum Injili telah menolaknya karena kemungkinan ekses negatifnya.
Menilik Sejarah
Sebenarnya, sejarah mendukung dua pendapat ini dan juga menentang keduanya.
Ya, banyak umat Kristiani selama bertahun-tahun telah ikut serta dalam ragam puasa pra-Paskah, tetapi pemikiran bahwa kita sedang “terhubung dengan akar kita” melalui mempraktikkan pra-Paskah secara sukarela hanyalah setengah dari kisah yang sesungguhnya. Bagi banyak pendahulu kita, pra-Paskah bukanlah pilihan; praktik ini diwajibkan. Jika Anda berkata bahwa saya harus mengikuti pra-Paskah dengan hanya makan jenis makanan tertentu, saya akan mengikuti jejak Zwingli yang menikmati sosis yang sangat lezat pada hari Jumat. Terima kasih banyak!
Dan, ya, banyak umat Kristiani selama bertahun-tahun telah menolak semua jenis puasa pra-Paskah dan memandangnya rendah “seperti Katolik Roma”, tetapi pemahaman bahwa kita sedang berdiri teguh dan sedang mengambil peran seperti para pendahulu kita untuk menolak pra-Paskah juga hanya menyajikan setengah dari kisah yang sebenarnya. Banyak kaum Puritan yang melarang Natal, Paskah, dan berbagai perayaan Minggu khusus, tetapi saat ini saya tidak melihat ada banyak orang yang membawa gergaji untuk memotong pohon Natal yang ada di gereja.
Dalam dekade terakhir ini, saya mengikuti “puasa” selama masa pra-Paskah beberapa kali. Saat ini, fokus saya lebih pada Masa Raya Paskah – sebuah masa perayaan Paskah yang berlanjut sampai pada minggu-minggu setelah Minggu Kebangkitan.
Saya memandang pra-Paskah sebagai sebuah latihan yang dapat bermanfaat atau berbahaya – seperti banyak disiplin rohani lainnya. Jadi, berikut ini beberapa pertimbangan bagi mereka yang mengikuti pra-Paskah dan bagi yang menolaknya.
Jika Anda Melaksanakan Pra-Paskah…
Pertama, saya ingin menyadarkan teman-teman saya yang melakukan praktik pra-Paskah untuk tidak memberikan kesan bahwa saudara seiman mereka yang menolaknya sedang “kehilangan sesuatu”. Bila masa pra-Paskah amatlah penting bagi pertumbuhan rohani maka para Rasul pastilah akan merekomendasikannya. Sungguh tidak masuk akal untuk mengingat rekam jejak bagaimana umat Kristiani terkadang mengizinkan masa-masa khusus ini jadi di luar kendali dengan memaksakannya sebagai hukum yang baru – seperti Paulus telah menjabarkan dengan jelas (Kolose 2:16; di mana percakapan Rasul Paulus bukan tentang pra-Paskah tetapi prinsipnya tetap dapat diterapkan).
Kedua, dalam upaya untuk “kembali terhubungan dengan akar kita,” ada kemungkinan untuk menyinggung saudara seiman yang lebih lemah yang menemukan ajaran Roma Katolik atau Anglikan atau gereja tradisional lainnya yang dulu mereka anut sebagai paham yang menguras kehidupan, bukannya memberi kehidupan. Teman-teman gereja Baptis saya di Romania tidak akan berpuasa selama Paskah atau Natal justru karena praktik ini diasosiasikan dengan kehidupan Kristiani yang sudah membudaya dan tidak hidup yang mereka lihat dalam gereja pemerintah. Mereka memiliki kuasa yang lebih. Tidak ada seorang pun yang boleh tersandung karena puasa.
Jika Anda Tidak Melaksanakan Pra-Paskah…
Bagi teman-teman saya yang memiliki keengganan pada apapun yang serupa dengan pra-Paskah, janganlah meragukan motivasi yang dimiliki oleh mereka yang menemukan manfaat rohani dari mengkhususkan waktu untuk merenungkan kesengsaraan Kristus. Dengan mengartikan bahwa pra-Paskah adalah “milik Katolik Roma”, kita kehilangan sejarah Protestan yang kaya perihal praktik ini. Ironisnya, kita sedang menempatkan Roma sebagai yang utama karena kita semua hanya memposisikan diri dalam rujukan pada Gereja Katolik Roma. Untuk melarang praktik ini bisa jadi sama merugikannya seperti ketika kita menuntutnya.
Simpulan
Saya hampir tidak pernah berpikir bahwa gereja akan menderita karena terlalu banyak berpuasa. Namun, saya juga berpikir gereja sedang menderita karena terlalu banyak pembenaran diri (dan saya memasukkan diri saya dalam tuduhan ini). Pra-Paskah – baik didukung ataupun ditolak – dapat menjadi sebuah jalan untuk kita mencapai puncak dari panggung pembenaran diri ini.
Hal yang lebih penting daripada berbagai praktik gerejawi yang kita anut adalah sikap hati di balik semuanya. Jika ada sesuatu yang kita harus relakan di masa khusus ini adalah perasaan lebih superior baik kepada mereka yang ada di luar gereja maupun di dalam gereja yang melakukan banyak hal dengan cara berbeda dari yang kita biasa lakukan.
Salib Kristus membuat kita semua sama. Dan kebenaran ini tetap berlaku ketika Anda melaksanakan atau tidak melaksanakan pra-Paskah.
Comments