Joe Deegan
Sumber: thegospelcoalition.org
Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)
Kita pernah mendengar ungkapan bahwa kita baru akan menghargai sesuatu di saat
kita kehilangan hal itu. Pandemi ini telah merampas banyak hal yang berharga, tapi
ada satu yang saya tidak pernah sadari sebelumnya bahwa saya akan sangat
merindukannya, yaitu bernyanyi bersama seluruh jemaat.
Saya melayani sebagai pemimpin ibadah gereja saya di Houston. Karenanya, saya
tetap “menghadiri” ibadah di gereja saya setiap hari Minggu sejak karantina oleh
pemerintah dimulai. Ini sebuah pengalaman yang tidak lazim bagi saya. Saya tidak
pernah membayangkan bahwa saya akan bernyanyi di depan kamera dan dalam
ruang ibadah yang kosong. Saya kurang menghargai sebelumnya bahwa kegiatan
bernyanyi bersama merupakan ekspresi cinta. Saya juga mendengar rekan dan
anggota keluarga yang sulit bernyanyi di rumah karena mereka tidak bisa melihat
dan mendengar sesama saudara seiman lainnya turut bernyanyi.
Pergumulan ini nyata. Semua orang Kristen di dunia merasakannya, bukan? Kita
merindukan dapat bernyanyi bersama kembali.
Tiga Alasan Kita Merindukan Bernyanyi Bersama di Gereja
Saya tidak meremehkan ibadah secara virtual. Saya malah bersyukur atas teknologi
di masa jemaat sulit berkumpul secara fisik. Namun, semakin lama karantina ini
berjalan, semakin jelas pula bahwa bernyanyi bersama dalam gereja adalah sesuatu
yang langka, indah dan tak tergantikan oleh cara digital.
Mengapa kita begitu merindukan bernyanyi bersama? Kerinduan ini mendorong kita
untuk merenungkan natur dan keindahan dari komponen ibadah Kristen yang telah
berlangsung sangat lama dan tidak bisa dihilangkan ini.
Di bawah ini, ada tiga alasan mengapa bernyanyi bersama di gereja sangatlah
penting dan harus tetap ada.
1. Bernyanyi bersama adalah gambaran kasih inkarnasional dari Kristus.
Saya pernah mendengar bahwa kata yang disukai Allah dalam Alkitab adalah
“bersama” (with). Matius 1:22-23 mengatakan bahwa Mesias akan disebut
Imanuel, “Allah yang bersama dengan kita”. Sang Anak Allah tidak datang dalam
wujud roh atau manusia super atau makhluk asing. Dia datang sebagai manusia.
Dia sama dengan kita supaya dapat dekat bersama kita. Ketika kita bernyanyi
bersama-sama –kita mendengar suara saudara seiman dan merasakan harmoni
dari paduan semua suara tersebut–, kita sedang mengekspresikan kasih Allah
yang sudah berinkarnasi; yang tinggal bersama-sama dan di tengah-tengah kita.
2. Bernyanyi bersama bersifat adikodrati.
Sewaktu kita mendengar orang lain di dekat kita bernyanyi dan telinga kita
menangkap volume, warna dan nada suara yang berbeda (sekalipun sumbang)
maka terjadilah sesuatu yang ajaib. Bernyanyi bukanlah sesuatu yang
sederhana. Kita sulit menjelaskan bagaimana nyanyian dapat membuat tubuh
bayi manusia bergoyang. Bernyanyi mengingatkan kita akan Sang Kuasa yang
adidaya, adikodrati dan ajaib di balik semua ciptaan. Dan Sang Kuasa itu
mengundang kita untuk terlibat bersama Dia dalam kegiatan yang adidaya,
adikodrati dan ajaib ini. Kita memang dirancang oleh Allah untuk bernyanyi.
3. Bernyanyi bersama adalah masa depan kita.
Saya sudah mengatakan bahwa bernyanyi bukanlah perkara yang sederhana.
Namun, bila kita membaca Alkitab, kita menemukan bahwa bernyanyi adalah hal
yang sangat praktis untuk menyiapkan kita memasuki kekekalan. Kita akan
bernyanyi dalam kekekalan. Wahyu 5 memperlihatkan sebuah pemandangan
Sang Anak Domba yang sudah menang disambut dengan nyanyian megah dari
himpunan ciptaan-Nya. Nyanyian yang kita kumandangkan di gereja tidak hanya
menghubungkan kita dengan saudara seiman di masa lalu dan masa sekarang
tetapi juga dengan masa depan kita. Ketika kita bernyanyi bersama maka kita
sedang mencicipi masa depan yang penuh kemuliaan di mana semua umat Allah
dari pelbagai suku, bahasa dan bangsa (Wahyu 7:9) akan memuja-muji Allah
dalam suara membahana yang tidak mungkin kita bisa bayangkan saat ini. Bulu
kuduk yang berdiri ketika bernyanyi bersama saat sekarang hanyalah pencicipan
dari sebuah penyembahan yang maha agung ketika kita berjumpa langsung
dengan Sang Penebus.
Sudah Tiba dan Belum Tiba
Apa yang kita bisa lakukan sementara menunggu kembalinya ibadah tatap muka?
Kita sudah menyaksikan pelbagai opsi kreatif dari banyak gereja, seperti: set ibadah
akustik di halaman belakang rumah, bernyanyi dalam kelompok kecil melalui Zoom,
mendengar dan bernyanyi mengikuti rekaman musik. Semuanya adalah alternatif
yang tepat untuk masa seperti ini, meskipun tidak bisa menyerupai secara sempurna
pengalaman bernyanyi bersama di gereja.
Dalam 1 Korintus 13:12, Paulus menggunakan kiasan untuk membandingkan antara
kehidupan kita saat ini dengan di kekekalan, “Karena sekarang kita melihat dalam
cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka
dengan muka.” Ayat ini sepertinya menggambarkan perbedaan perasaan kita
antara bernyanyi di depan layar dan bersama saudara seiman. Bagaimana bila kita
melihat ibadah virtual selama Pandemi adalah ilustrasi dari penantian kita akan
sesuatu yang lebih sempurna? Kita mengikuti ibadah pada setiap hari Minggu,
bernyanyi dan mendengarkan khotbah melalui layar. Sekalipun ini cukup menolong
tetapi kita tahu ada yang tidak lengkap. Ada yang terhilang. Ini bukan seharusnya
yang kita alami.
Bukankah perasaan merindukan sesuatu yang lebih sempurna juga mengisi
keseharian kita? Dunia ini indah sekaligus rusak. Dan, kita sangat berharap dunia
ini akan disempurnakan suatu hari kelak. Bahkan, meskipun kita sudah kembali ke
keadaan normal di mana kita pada akhirnya bisa bernyanyi bersama saudara
seiman, kita tahu bahwa ada yang jauh lebih agung, yaitu ketika kita bernyanyi
dalam langit dan bumi yang baru.
Sangatlah tepat dan baik bila kita merindukannya sekarang. Kehilangan
kesempatan untuk berkumpul secara ragawi dan bernyanyi bersama memang
menyedihkan. Akan tetapi, alih-alih kita terpuruk dalam kemurungan atas keadaan
ini, marilah jadikan rasa kehilangan ini untuk menerbitkan semacam kesadaran
bahwa suatu hari Allah akan memberikan yang jauh lebih daripada yang kita bisa
bayangkan. Dialah Allah yang menikmati puji-pujian anak-anak-Nya sehingga Dia
pun turut bernyanyi bersama kita (Zefanya 3:17).
Comments