JOHN D. WITVLIET
Sumber: reformedworship.org
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Pertanyaan:
Gereja kami merayakan Natal dan Paskah, tapi selebihnya tidak. Kami cukup bingung menghadapi waktu yang cukup panjang terhitung dari Pentakosta hingga Adventus. Mohon pencerahannya.
Pertanyaan:
Nama apa yang tepat untuk menyebut masa setelah Pentakosta? Kami telah berdebat tentang hal ini setiap tahun dan tidak pernah mencapai kata sepakat.
Jawaban:
Para pembaca Reformed Worship berasal dari konteks gereja yang berbeda-beda. Ada yang menerapkan kalender gerejawi secara menyeluruh, ada yang mengikuti sebagian saja, dan juga yang jarang memikirkannya atau bahkan yang menolaknya. Beberapa dari kita sangat memahami detail dan pemaknaan kalender gerejawi; sedangkan yang lain baru pertama kali mendengar tentang kalender ini.
Secara pribadi, saya sungguh mensyukuri keberadaan kalender gerejawi. Semakin banyak saya mempelajari asal-usulnya serta menghidupi pola dan ritmenya, semakin saya menemukan hikmat pastoral yang sangat dalam. Pada saat yang sama, dalam konteks tradisi reformed sangatlah penting untuk memahami hikmat yang mendasari penggunaannya daripada sekedar merasa wajib mengikuti sesuatu yang sepertinya sudah menjadi disiplin yang tidak bisa ditawar. Ketika menyentuh hari-hari dan masa-masa khusus yang kita ingin peringati maka kita harus menghargai kebebasan Kristiani dan berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin hikmat dari seantero tubuh gereja dengan didasari nasihat dari Roma 14:5-6 dan Kolose 2:16. Pertanyaan yang muncul ini memberi kita kesempatan untuk mempraktikkan hikmat ini.
Menjadikan Kristus sebagai Pusat
Kalender gerejawi bertujuan meletakkan Kristus di pusat dari kalender kita. Perjalanan dari penantian Adventus sampai kenaikan Kristus ke surga, dan kemudian diutusnya Roh Kudus oleh Kristus, adalah salah satu cara terbaik untuk menguduskan kita dari orientasi manusiawi dalam diri kita. Kalender yang berpusat pada Kristus ini bersaing dengan banyak kalender/penanggalan lain untuk merebut perhatian kita: kalender akademik sekolah, kalender olahraga, kalender pusat perbelanjaan, dan banyak lagi. Ketika dirayakan dengan tepat, kalender yang didasarkan pada kehidupan Yesus ini dapat memberi arahan pada setiap bidang pelayanan di gereja –penginjilan, pembentukan iman, kesaksian sosial, dan banyak lagi.
Meneladani perjalanan tahun kita dari antisipasi kedatangan Yesus hingga diutusnya Roh Kudus, kalender gerejawi mengundang kita masuk pada masa –yang dimulai dari Minggu setelah Pentakosta, di mana ruang untuk kreativitas, kebebasan, dan improvisasi terbuka sangat lebar.
Hal ini juga berlaku bagi mereka yang mengikuti kalender gerejawi dengan sangat setia –mereka yang mengikuti leksionari secara taat dan jarang melenceng dari bacaan Alkitab yang disarankan. Pada Minggu setelah Pentakosta, bacaan Alkitab berdasarkan Revised Common Lectionary dipilih bukan karena keterkaitan bacaan satu dengan yang lain, tapi karena masing-masing bacaan (Perjanjian Lama, Injil, dan Perjanjian Baru) mengungkap sebuah seri bacaan yang berkesinambungan dalam kurun waktu tersebut sambil menelusuri bagian-bagian Alkitab yang tidak dibaca pada siklus kalender sebelumnya. Secara teoretis, jemaat bisa berfokus pada bacaan Perjanjian Lama dalam satu tahun , Perjanjian Baru pada tahun berikutnya, dan Injil pada tahun berikutnya. Jika jemaat melakukan hal ini dan mencakup tiga siklus bacaan leksionari ini, maka mereka memiliki sembilan seri khotbah yang menggali kedalaman kitab suci dalam ibadah mereka.
Banyak gereja yang mengikuti sistem leksionari ini telah melakukan pendekatan di atas –mengikuti kalender gerejawi secara utuh dari Adventus hingga Pentakosta, kemudian dari Pentakosta hingga Adventus mereka memilih satu atau lebih bagian Kitab Suci untuk didalami sebagai dasar pembahasan tema tertentu. Contohnya, sebuah gereja bisa berkomitmen mendalami satu kitab Perjanjian Lama dan satu kitab Perjanjian Baru setiap tahunnya, sebagai dasar dari seri khotbah dan ibadah; misalnya membahas kitab Keluaran di musim panas (di Minggu-minggu setelah Pentakosta) dan dilanjutkan dengan surat 1 Korintus di musim gugur hingga tibanya masa Adventus.
Saya meyakini bahwa pemilihan pembacaan Alkitab haruslah membentuk cara kita memberi nama masa (setelah Pentakosta ini), dan bukan kebalikannya –dan kita memiliki banyak pilihan penamaan ini.
Bacaan Alkitab yang Membentuk Nama Masa (Setelah Pentakosta)
Masa Biasa (Ordinari) atau Masa setelah Pentakosta
Beberapa gereja menamai masa ini sebagai “masa biasa” atau “Minggu biasa”. Istilah “biasa” memiliki sejarah yang menarik. Saya sering mendengar penjelasan bahwa hal ini menegaskan “bagaimana anugerah Allah hadir bagi kita dalam rutinitas dan pengalaman manusiawi dalam keseharian kita.” Penjelasan yang indah, tetapi penjelasan ini tidak banyak terkait dengan makna yang sebenarnya.
Istilah ini terkait erat dengan hitungan. “Biasa” (bahasa aslinya “Ordinary”) berasal dari bahasa Latin ordinalis (sama seperti angka ordinal: pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya). Ketika gereja menghitung Minggu-minggu setelah Pentakosta (misalnya: “Minggu Kesepuluh setelah Pentakosta”), mereka menggunakan angka ordinal, untuk mengatur Minggu-minggu yang berada di antara Pentakosta dan Adventus. Awalnya kelihatan sedikit janggal karena penamaannya kurang masuk akal dibanding dengan Masa Adventus, Masa Raya Natal, Masa Pra-Paskah, atau Masa Raya Paskah, yang mana merupakan masa yang secara khusus dimaknai dengan antisipasi dan berbagai perayaan. Masa biasa hanyalah Minggu-minggu setelah Pentakosta yang ditandai angka hitungan. Sistem penghitungan ini telah membantu gereja-gereja mengorganisasi bacaan Alkitab dan musik dalam ibadah lama sebelum hadirnya internet dan sistem penyimpanan komputer.
Bagi gereja-gereja yang menggunakan istilah “masa setelah Pentakosta”, saya menyarankan Anda memberikan subjudul pada tema khotbah di musim panas yang merujuk pada bacaan kitab suci yang menjadi fokus. Gereja yang mengikuti panduan leksionari, misalnya pada tahun lektionari B dapat menambahkan subjudul “Musim Panas bersama Samuel”, karena bacaan Alkitab menuntun kita untuk mempelajari kitab 1 dan 2 Samuel.
Gereja-gereja bisa juga memilih menggunakan istilah “masa biasa” dengan penjelasan yang lebih segar mengenai anugerah Allah dalam keseharian. Jujur saja, kita bisa bersikap bijak untuk menyadari bahwa visi yang menarik dan berdasar kitab suci ini memang muncul belakangan, hampir seperti pendekatan historis-linguistik yang tidak disengaja, karena memang ada dua makna dari kata “ordinary”. Satu hal yang perlu kita perhatikan dengan istilah “ordinary”, ada kesan bahwa masa-masa ini kurang penting atau “biasa-biasa saja”. Bukan ini makna sebenarnya. Setiap hari Minggu adalah Paskah kecil. Setiap hari dalam kehidupan Kristiani memiliki sifat Pentakosta.
Seperti yang pernah dikemukakan oleh beberapa ahli sejarah, ketika perayaan-perayaan dan masa-masa khusus dalam kalender gerejawi dengan indahnya menarik perhatian kita pada aspek-aspek khusus dari iman Kristen, Minggu-minggu di luar perayaan-perayaan khusus ini menarik perhatian kita pada visi iman yang utuh dan menyeluruh. Fokusnya bukan hanya pada satu kalimat yang tercantum dalam pengakuan iman kita, tapi seluruh pengakuan iman. Mungkin kita bisa menyebut Minggu-minggu biasa ini “Minggu Pengakuan Iman Utuh”!
Masa Pentakosta atau Masa Trinitas
Walaupun kalender gerejawi secara historis tidak memasukkan masa yang khusus setelah Pentakosta, beberapa gereja mengembangkan pemikiran yang melihat sepanjang tahun gerejawi sebagai masa-masa yang berkesinambungan. Hal ini menciptakan peluang untuk menolong jemaat melihat makna penting ibadah pada masa ini; inilah cara terbaik menjelaskan improvisasi yang baru terhadap tradisi gereja purba.
Namun, dalam gereja yang berorientasi pada penamaan masa, frasa “masa setelah Pentakosta” dapat terasa agak kosong. Frasa ini tidak mengkomunikasikan visi yang diharapkan karena memang sebetulnya penamaan ini tidak dirancang untuk menyampaikan visi dari masa ini.
Maka beberapa gereja menyebutnya Masa Pentakosta, dengan pemikiran bahwa, sama seperti Natal dan Paskah, Pentakosta sangat perlu dirayakan. Mengapa kita tidak melanjutkan perayaan ini? Lagipula, Roh Kudus adalah Pribadi yang penting apapun cara pendalaman Alkitab –berdasarkan leksionari ataupun tidak, yang dipilih pengkhotbah yang setia, baik cara yang sangat jelas berfokus pada Roh Kudus maupun cara yang lebih terselubung.
Penamaan ini sudah sepatutnya. Kebanyakan dari kita membutuhkan visi yang lebih kaya akan Pribadi Roh Kudus. Godaan untuk mendefinisikan kembali Roh Kudus sesuai bayangan kita sangatlah besar, kita bisa saja menjadikan Roh Kudus Pribadi yang introver atau ekstrover, menekankan penalaran atau perasaan, bekerja secara tiba-tiba atau menurut kebiasaan. Kita akan sangat terbantu ketika memiliki masa yang cukup panjang dan dikhususkan di mana kita memusatkan perhatian pada seluruh cara Roh Kudus berkarya yang bahkan tidak akan cukup dipahami oleh pikiran dan/atau kategori kita yang sederhana.
Di sisi lain, pilihan penamaan ini dapat menghalangi karakter Pentakosta yang seharusnya ada di sepanjang tahun gerejawi. Roh Kudus adalah karakter utama dalam drama Natal, dan Roh Kuduslah yang membangkitkan Yesus dari kematian pada hari Paskah. Jika tidak berhati-hati, menyebutnya Masa Pentakosta dapat menguatkan kecenderungan kita untuk membagi perhatian pada Pribadi Trinitas (Allah Bapa pada musim gugur, Allah Anak sejak Adventus, dan Allah Roh Kudus sejak Pentakosta)–sebuah risiko yang, jika disadari sepenuhnya, juga dapat ditemukan dalam struktur Pengakuan Iman Nicea dan Pengakuan Iman Rasuli. Yang kita inginkan seharusnya adalah memandang pada Allah Trinitas sepanjang tahun; perhatian yang sepatutnya pada Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sepenuhnya menyadari tiga Pribadi satu Allah.
Karena alasan inilah beberapa gereja merujuk Minggu-minggu setelah Pentakosta sebagai Masa Trinitas, tidak hanya merayakan Minggu Trinitas di hari Minggu pertama setelah Pentakosta saja, tetapi terus berfokus pada tema Trinitas untuk jangka waktu yang lebih panjang. Kelebihan dan kekurangan dari penamaan ini serupa dengan yang terjadi dengan nama Masa Pentakosta: adalah baik untuk memberi perhatian khusus pada jangka waktu tertentu pada karakter ketritunggalan Allah (sungguh sebuah visi yang luar biasa!), tapi tanpa disadari kita bisa menyalahpahami bahwa kelahiran, kehidupan, dan kematian Yesus yang dipenuhi makna ketritunggalan itu tidak benar-benar Tritunggal.
Masa Kerajaan Allah atau Masa Penciptaan
Pada tahun 1937, Konsili Gereja-gereja di Amerika Serikat (the Federal Council of Churches) mengusulkan bahwa Minggu-minggu dari akhir Agustus hingga akhir tahun disebut masa kerajaan (“kingdomtide”). Banyak bacaan leksionari selama masa ini membahas tentang isu sosial yang penting, dan Konsili ingin mengedepankan pemahaman bahwa Injil Yesus menuntun pada keterlibatan sosial yang bermakna. Penamaan ini, dengan sangat baik, memberi sorotan bahwa Kerajaan Allah hadir dalam seluruh catatan Injil. Namun, hal ini hanya dapat terlaksana jika bacaan Alkitab hari tersebut benar-benar berfokus pada tema Kerajaan Allah, dan ketika nama ini digunakan setiap tahun, maka beberapa bacaan penting tidak bisa digali lebih dalam atau makna penamaan ini perlahan akan pudar.
Akhir-akhir ini, ada beberapa usulan yang mengajukan merayakan masa penciptaan selama musim gugur, menyediakan waktu khusus untuk menikmati bagian Alkitab yang berfokus pada penciptaan: Kejadian 1 dan Mazmur 104, Ayub 38 dan Mazmur 8, Amsal 8 dan Kisah Para Rasul 17, Yohanes 1 dan Kolose 1, dan banyak lagi. Dengan penyesuaian ini, bentukan sepanjang tahun gerejawi mengikuti struktur Pengakuan Iman Nicea dan Pengakuan Iman Rasuli, dan karenanya mengikuti pengajaran kemuridan dan pembentukan iman yang indah dan didasari Pengakuan Iman (misalnya Katekismus Heidelberg pada bagian pengakuan iman, yaitu pertanyaan dan jawaban nomor 23-58).
Pertanyaan untuk Refleksi Lebih Lanjut
Walaupun tidak merujuk pada satu jawaban yang cocok untuk segala situasi dan konteks, dalam perjalanan mempelajari kembali beberapa sejarah tahun gerejawi untuk menjawab pertanyaan ini, saya telah menemukan pertanyaan-pertanyaan berikut sangat menolong untuk mengarahkan diskusi. Apapun keputusan yang dipilih oleh jemaat Anda, saya berharap kita semua dapat terus mencari hal-hal ini bersama:
Bagaimana kita menghindari sikap menghakimi dan berpikiran sempit yang menegaskan kalau hanya ada satu pendekatan yang “benar”?
Bagaimana kita dengan teguh mengkomunikasikan bahwa setiap Minggu dalam masa ini adalah “Minggu Injil Kristus yang Utuh” atau “Minggu Pengakuan Iman yang Utuh”?
Bagaimana kita dapat merangkul makna dari pembacaan dan seri khotbah berdasarkan bagian tertentu kitab suci secara semi-berkelanjutan atau berkelanjutan pada masa ini –dan bagaimana penamaan yang kita pilih menunjukkan hal itu setiap tahun?
Bagaimana kita dapat memastikan bahwa ibadah kita sepanjang tahun ini sepenuhnya bersifat Tritunggal, meneguhkan karya ciptaan dan keindahan dari pengajaran Yesus tentang Kerajaan Allah, dengan menggunakan Minggu-minggu dari masa di antara Pentakosta dan Adventus ini, dalam kaitannya dengan pengaturan bacaan Alkitab berdasarkan leksionari atau tidak berdasar leksionari untuk mengarahkan fokus pada tema-tema penting di atas (atau tema lain yang biasanya terabaikan)?
Hal ini berarti kita tidak hanya bernyanyi untuk Allah – kita juga seharusnya bernyanyi seorang kepada yang lain.
--
Ketika saya mencoba memahami hal ini, saya berpikir tentang ketika kita menyanyikan kebenaran kepada yang lain, kita sedang saling meneguhkan juga.
Bergantung pada lagunya, kita sedang mengingatkan orang di samping kita – yang mungkin melewati pekan yang buruk atau sedang menghadapi tekanan yang berat – tentang berita Injil, tentang betapa besarnya Allah, atau tentang anugerah luar biasa yang Allah tunjukkan pada kita. Saya yakin bahwa saya secara pribadi pernah mengalami momen ketika menyaksikan orang lain menyembah telah meneguhkan saya untuk terus menjalani hidup yang berpusatkan pada Injil.
Saya merasa ditegur oleh kata-kata Paulus dalam Efesus. Saya menyadari bahwa selama ini saya menjadikan ibadah dan nyanyian tentang diri saya sendiri dan apa yang saya rasakan ketika menyanyikan lagu-lagu itu. Saya seharusnya lebih banyak memikirkan tentang bagaimana dapat meneguhkan saudara seiman di sebelah saya ketika menyanyikan tentang kebaikan Allah.
Hal yang terpenting, ayat 18 menyatakan bahwa bernyanyi seorang pada yang lain adalah tanda bahwa kita dipenuhi Roh. Dengan kata lain, seperti itulah seharusnya bernyanyi secara rohani yang sebenarnya di dalam gereja. Bagi saya, hal ini sangat berbeda jauh dari apa yang secara tradisional saya yakini sebagai pengalami rohani ketika bernyanyi dalam sebuah ibadah – yang dulunya semua tentang merasakan suatu luapan emosi.
Karena itu, saat ini, saya tidak lagi menjadikan “pengalaman rohani” sebagai tujuan saya ketika beribadah. Ketika saya menyanyi dalam gereja, saya masih menyanyi dengan semangat yang saya miliki. Namun, alih-alih mengejar perasaan atau sebuah pengalaman, saya bernyanyi dengan pemahaman bahwa saya secara aktif mengambil bagian bersama keluarga yang Allah berikan pada saya, menaati perintah yang diilhamkan oleh Roh Kudus kepada Rasul Paulus!
Pikirkan dan Diskusikan
Bagaimana rupa ibadah di gereja Anda?
Apakah Anda melihat diri Anda mengejar luapan emosi dalam ibadah?
Apa maksud dari beribadah dalam roh dan kebenaran?
Comments