NICK MONSMA
Sumber: reformedworship.org
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Paling tidak ada tiga ribu mukjizat yang terjadi pada perayaan Pentakosta seperti tercatat pada Kisah Para Rasul 2. Tiga ribu orang beriman kepada Yesus Kristus. Setiap mukjizat tersebut melibatkan tiga pihak: seorang rasul yang berkhotbah dalam bahasa yang dipahami para pendengar, seorang partisipan perayaan yang mendengar berita Injil dalam bahasa ibunya, dan Roh Kudus yang menumbuhkan iman. Saat sang rasul dan partisipan perayaan yang mendengar disatukan melalui karya Roh Kudus, kita melihat misi Allah dan gereja-Nya. Pentakosta khususnya adalah tentang mukjizat misional yang melibatkan tiga pihak tersebut.
Ibadah yang misional melibatkan tiga pihak yang sama: gereja, dunia, dan Roh Kudus. Ketika kita menginginkan ibadah yang misional, kita perlu memastikan liturgi kita mencakup ketiganya.
Ibadah Tanpa Gereja
Terkadang kita menangkap visi Kerajaan Allah tentang apa yang dapat terjadi di antara dunia dan Roh Kudus. Kita merancang ibadah penginjilan atau KKR yang menarik. Kata-kata dan musik menyuarakan bahasa dunia di sekitar kita. Di momen puncak, pesan dari khotbah ditujukan kepada orang-orang yang butuh menyerahkan hidup mereka kepada Yesus Kristus, khususnya mereka yang belum pernah melakukannya. Kita bermimpi bahwa orang-orang yang belum menjadi anggota gereja akan berdatangan, dipimpin untuk memahami kisah Injil, dan berpikir, “Mungkin saja ada sesuatu tentang Yesus ini.”
Hal ini akan jadi sesuatu yang luar biasa. Namun, itu bukanlah ibadah misional. Ibadah misional terjadi bukan hanya ketika sesama kita yang belum percaya dan Roh Kudus bersatu. Mengikuti pola misional Kisah Para Rasul 2, ibadah misional melibatkan dunia, Roh Kudus, dan gereja secara utuh. Memang benar bahwa dalam ibadah KKR yang menarik beberapa anggota gereja terlibat sebagai musisi dan pengkhotbah yang memimpin para penyembah untuk memahami pesan Injil. Namun, tanpa seluruh gereja yang memiliki peran kunci, ibadah itu bukanlah ibadah misional. Liturgi yang misional dirancang untuk memperlengkapi gereja akan perannya ketika Roh Kudus bekerja dalam dunia.
Di gereja kami, orang-orang diundang untuk maju ke depan, menceritakan kehidupan mereka sehari-hari dan kemudian diutus untuk ambil bagian dalam misi Allah. Mereka diberi pertanyaan berikut ini:
Bagaimana gambaran seminggu ke depan di hidup Anda?
Kesempatan-kesempatan apa yang mungkin Anda miliki untuk melayani Allah dan mengasihi sesama?
Kemudian kami akan berdoa bagi mereka. Kami menilai hal ini sebagai sebuah liturgi misional yang efektif. Hal ini menolong semua penyembah untuk berpikir tentang hidup mereka sendiri dan dibentuk untuk melakukan bagian mereka dalam misi Allah. Hal ini menolong memperlengkapi para penyembah akan peran mereka ketika Roh Kudus bekerja di antara orang-orang dalam dunia kita.
Ibadah Tanpa Dunia
Terkadang, kita sebagai pemimpin ibadah ingin liturgi yang kita rancang dapat menjangkau sampai ke kedalaman kebiasaan dan ranah bawah sadar para penyembah. Kita merancang banyak liturgi yang membawa kita menyelami kisah Injil. Doa-doa pengakuan dosa kita sangat personal dan menusuk sukma. Kita membuka Kitab Suci dan mendengarkan sebuah khotbah bukan hanya karena sudah waktunya belajar sesuatu dari Alkitab, tetapi karena kita dengan sepenuhnya menyadari bahwa Allah memberikan berita keselamatan kepada kita melalui firman-Nya. Kita bergumul menemukan posisi yang tepat untuk warta gereja karena kita tidak ingin berita-berita ini mengganggu penyampaian kisah Injil yang dimulai jam 10 pagi dan diakhiri beberapa menit setelah jam 11. Tidak ada bagian dari liturgi yang dimasukkan tanpa alasan yang kuat atau hanya sekadar ada di sana. Kita ingin setiap bagian liturgi memiliki sesuatu yang terkait dengan penciptaan, kejatuhan, penebusan, dan kekekalan dalam Yesus Kristus. Kita juga berdoa agar ketika seluruh gereja menyembah, Roh Kudus membentuk kita sesuai dengan kisah Injil itu.
Semua akan menjadi luar biasa bukan? Namun, dengan jujur kita bisa mengatakan hal ini bisa jadi bukanlah ibadah misional. Seperti pola dalam Kisah Para Rasul 2, badah misional melibatkan Roh Kudus, gereja, dan dunia. Memang tidak selalu mudah untuk mengundang sesama kita di dunia untuk bergabung dalam ibadah korporat mingguan. Namun, jangan kuatir – ibadah tidak berakhir dengan penyataan berkat. Ibadah gereja berlanjut saat kita tersebar di tempat kita masing-masing di dunia ini. Inilah alasan mengapa liturgi yang misional tidak hanya mengarahkan penyembah pada kisah Injil, tidak hanya melibatkan Roh Kudus dan gereja saja. Liturgi yang misional juga mengarahkan para penyembah pada dunia, secara intensional dan secara spesifik. Dalam ibadah misional, ketika kita beribadah maka gereja, dunia, Roh Kudus disatukan serta dibentuk oleh Roh Kudus untuk melanjutkan ibadah saat diutus kembali dalam dunia.
Di gereja kami, doa syafaat biasanya dilakukan kira-kira 20 menit setelah ibadah dimulai, setelah pengakuan dosa dan berita anugerah disampaikan. Baru-baru ini kami mencoba berdoa syafaat saat bagian pengutusan di penghujung ibadah. Kami juga melakukan dua hal penting berikut:
Kami memastikan bahwa kami memohon anugerah Allah sesuai dengan tema Injil yang disampaikan dalam khotbah agar doa yang dinaikkan terkait dan terintegrasi dengan narasi Injil yang dinyatakan dalam ibadah kami.
Kami menaikkan permohonan bukan hanya untuk kebutuhan dalam lingkup jemaat kami saja, tetapi juga untuk kebutuhan orang-orang dan dunia tempat kita tinggal selama sepekan ke depan.
Kami mendapati bahwa doa seperti ini tidak hanya membuat kami menyelam ke dalam berita Injil. Doa-doa seperti ini menolong kami melihat bahwa penyelaman kami dalam kisah Injil terkait erat dengan keseharian kami di tengah dunia ini. Doa-doa ini menjadi liturgi yang sungguh misional karena mereka memberi ruang bagi gereja, Roh Kudus, dan dunia.
Ibadah Tanpa Roh Kudus
Yesus menjanjikan Roh Kudus bagi kita, Ia berkata, “Aku akan mengutus Dia kepadamu” (Yohanes 16:7). Namun, Yesus tidak bermaksud bahwa Roh Kudus akan hadir supaya kita dapat mengontrol-Nya. Terkadang kita menangkap visi tentang liturgi yang sempurna. Kita merancang ibadah dengan hati-hati dan kita membayangkan hal-hal luar biasa yang akan terjadi selama ibadah tersebut. Kemudian, ternyata Roh Kudus tidak bekerja sesuai dengan apa yang kita harapkan tersebut.
Mengikuti pola Kisah Para Rasul2, ibadah misional terjadi ketika gereja, dunia, dan Roh Kudus bersatu. Bagi para perancang ibadah, hal ini berarti kita perlu mengingat kedaulatan Roh Kudus. Kita tidak sedang mengerjakan ibadah misional jika, ketika kita merancang atau merencanakan ibadah, kita berpikir ibadah kita akan membuahkan hasil tertentu bila kita mengerjakan semua dengan benar. Kita bukanlah aktor utama dalam ibadah misional. Ibadah misional adalah tentang Roh Kudus yang menyatukan gereja dan dunia. Saya tidak dapat memberikan contoh akan sesuatu yang kami lakukan di gereja kami yang secara efektif akan membuat Roh Kudus terlibat dalamnya. Itulah intinya. Merancang liturgi bagi ibadah misional membutuhkan kerendahan hati, doa, dan iman secara konstan – menantikan Roh Kudus.
Misi Allah adalah sebuah mukjizat. Misi ini sesuatu yang telah dikerjakan, sedang dikerjakan, dan akan dikerjakan oleh Allah sendiri. Jika itu adalah kehendak Allah, Roh Kudus akan menggunakan liturgi Anda untuk membentuk para penyembah sesuai peran mereka dalam transformasi yang Roh kerjakan kepada dunia dalam Yesus Kristus. Rancanglah liturgi Anda agar gereja, dunia, dan Roh Kudus dapat bersatu – dan berdoalah untuk mukjizat.
Pertanyaan Refleksi
Dalam gereja Anda, momen apa dalam ibadah yang baru-baru ini merefleksikan gereja? Memikirkan dunia? Menantikan Roh Kudus?
Pikirkan ibadah Minggu besok. Dalam cara apa Anda berharap para penyembah akan dibentuk menjadi bagian dari pekerjaan Allah dalam Yesus Kristus di dunia ini?
Hal-hal apa saja yang Anda tahu dengan pasti akan Anda doakan sebelum Anda merencanakan atau memimpin ibadah?
Comments