top of page
Writer's pictureWOW Ministry

PENYEMBAHAN YANG MENGUBAHKAN KEHIDUPAN

RORY NOLAND

Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)



“Berdiri di hadapan Sang Maha Kudus yang kekal adalah untuk diubahkan.” – Richard Foster


Injil Matius diakhiri secara gemilang. Yesus sudah mengalahkan maut dan dibangkitkan dari kubur. Sebelum naik ke surga, Dia mengumpulkan para murid-Nya untuk terakhir kalinya. “Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka. Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya...” (Matius 28:16-17). Respon mereka terhadap Kristus yang sudah bangkit sangatlah masuk akal, yaitu mereka menyembah Dia. Namun, ada kejutan yang membingungkan di akhir adegan ini. Matius melaporkan bahwa di antara mereka ada yang ragu-ragu.


Keraguan yang menghinggapi para murid membingungkan kita. Meskipun sudah berhadapan dengan kemuliaan Kristus dan menyembah Dia, mereka masih dapat memiliki keraguan. Mereka mungkin tidak meragukan Yesus. Mereka lebih meragukan kemampuan untuk melanjutkan kehidupan tanpa kehadiran-Nya secara fisik sebagaimana yang kita pasti juga rasakan bila berada di posisi mereka. Namun, kita tetap bertanya-tanya, apakah penyembahan yang begitu luar biasa itu tidaklah cukup untuk mengenyahkan keraguan dan ketakutan mereka? Seakan-akan penyembahan tidak mampu mengubah mereka. Apa yang dialami oleh para murid juga tidak asing bagi kita. Seberapa sering kita keluar dari ibadah yang begitu bermakna tetapi kita menemukan diri sendiri tidak berubah?


PERAN IBADAH DALAM FORMASI SPIRITUAL

Saya menyebut fenomena kita rajin beribadah tetapi tidak berubah sebagai “penyembahan neutrino”. Dalam ilmu Fisika, neutrino adalah partikel yang lebih kecil daripada atom. Bahkan, lebih kecil daripada neutron. Neutrino tidak membawa muatan listrik sama sekali alias netral. Karenanya, neutrino dapat melewati benda fisik apapun tanpa berubah. Demikian juga kita yang seringkali melalui banyak ibadah di gereja tetapi tanpa membiarkan kuasanya untuk mengubah diri kita. Ibadah direduksi semata-mata sebagai pengalaman untuk merasa enak dan nyaman daripada sebuah perjumpaan dengan Kristus yang dapat memutarbalikkan kehidupan.


Sayangnya, banyak orang Kristen memiliki pengertian yang sempit tentang ibadah. Seringkali, kita menganggap ibadah sebagai urusan bernyanyi saja di gereja atau pengalaman emosional yang terjadi secara singkat. Dalam Roma 12:1-2, Paulus menghubungkan tindakan rohaniah penyembahan dengan perubahan dan pembaharuan akal budi kita. Dan dalam 2 Korintus 3:18, dia juga mengajarkan bahwa ketika kita memandang atau menghayati kemuliaan Allah maka kita pun ditransformasi dalam keserupaan-Nya.


Itu sebabnya, ibadah sepatutnya lebih daripada mengalami letupan sensasi emosional. Ibadah bukan sekedar program di gereja atau konser yang menampilkan penyanyi kegemaran kita. Ibadah sesungguhnya bersifat partisipatif di mana kita sepenuhnya melibatkan diri ke dalamnya. Ibadah bukanlah sesuatu yang diselenggarakan bagi kita oleh tim musik. Ibadah bukan tentang diri kita. Ibadah adalah tentang Allah. Bila kita menjalani ibadah dengan hakikat yang tepat maka pastilah kita akan menerima dampak perubahan dalam diri kita.

Ibadah menantang kerohanian yang suam-suam dan membangkitkan kerinduan kita untuk bertumbuh. Lagu-lagu rohani tertentu, bila kita sungguh-sungguh menyanyikannya, pastilah akan mempengaruhi iman kita. Siapa yang dapat menyanyikan Aku Berserah atau Semuanya Bagi Yesus tanpa merasakan kekuatan syairnya?


Selain itu, ibadah mengundang kita untuk memeriksa keadaan diri kita secara jujur. Howard L. Rice mengatakan bahwa betapa sulitnya kita menghadapi kelemahan dan kegagalan diri sendiri. Namun, ia melanjutkan, “Tuhan menuntut kejujuran dari setiap kita. Sekalipun, kejujuran itu mungkin menyakitkan. Oleh karena Tuhan mengenal diri kita lebih baik daripada kita sendiri. Kita sama sekali tidak dapat berpura-pura. Kita harus datang kepada-Nya apa adanya.”


Dalam sebuah ibadah yang saya ikuti, saya menjumpai sebuah baris lirik yang sangat kuat, “...kuasa kasih-Mu mengubahkan aku.” Saat saya menyanyikannya, saya tidak bisa berhenti merenung, “Apakah ini benar ya Tuhan? Kasih-Mu sanggup mengubahkan diriku?” Baris lirik berikutnya berbunyi, “Anugerah-Mu cukup bagiku,” yang memunculkan pertanyaan di benak saya, “Benarkah Tuhan adalah segalanya yang aku butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan? Ataukah aku masih mengandalkan hal-hal yang bersifat sementara untuk menciptakan kebahagiaanku?” Rentetan pertanyaan penting ini tidak muncul dengan sendirinya. Ibadahlah yang memperhadapkan saya kepada pertanyaan-pertanyaan itu.


Ibadah juga meneguhkan keinginan kita untuk menaati Tuhan. Formasi spiritual adalah sesuatu yang Tuhan kerjakan dalam diri kita (Filipi 1:6; 2:13). Akan tetapi, kita tetap mengemban tanggung jawab untuk bekerja sama dengan karya-Nya dalam diri kita. Nyanyian ibadah menekankan iman dan komitmen untuk kita mengikuti Kristus.


Seringkali, Roh Kudus menggunakan ibadah untuk menunjukkan dosa kita. Saya pernah menyimpan kekesalan terhadap seorang saudara seiman. Saya mati-matian merasa diri paling benar dan dialah yang salah. Sampai suatu hari, saya datang ke gereja. Pada nyanyian pertama, jemaat diundang untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Lagu berikutnya memberitakan tentang Allah yang mengampuni orang berdosa. Tidak lama kemudian, saya pun ditegur oleh Allah atas kesombongan dan kekerasan hati saya yang menghambat rekonsiliasi antara saya dan saudara seiman itu. Keesokan harinya, saya menghubungi dia untuk meminta maaf dan merajut kembali hubungan yang rusak.


Banyak orang percaya pada hari-hari ini begitu haus akan ibadah yang dapat menggerakan mereka secara mendalam, menyentuh mereka secara menyeluruh dan pada akhirnya mengubah mereka secara radikal.


285 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page