STEPHEN MILLER
Sumber: ftc.co
Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)
Generasi kita ditandai dengan aneka peperangan.
Saya tidak sedang membicarakan perang yang melibatkan senapan dan kendaraan berlapis baja. Generasi kita sering menyaksikan perselisihan di gereja tentang sesuatu yang seharusnya justru menyatukan kita, yaitu penyembahan kepada Yesus. Lagu himne lama versus lagu kontemporer. Piano versus drum.
Cukup banyak dari kita yang keluar dari perang penyembahan yang didalangi oleh mentalisme konsumeristik ini dengan membawa bekas-bekas luka. Dampaknya memang sangat besar, baik secara individual maupun komunal.
Dalam dua dekade terakhir, tampaknya perang penyembahan yang sempat merusak banyak gereja ini agak mereda. Kita pun dengan mudah mengatakan bahwa perang penyembahan ini adalah bagian dari masa lalu. Sampai kita memutuskan berhenti ke gereja yang tidak memenuhi standar kita.
Kita menjadi kritikus ulung atas ibadah gereja. Kita mengeluhkan hampir semua hal. Volume yang terlalu keras atau malah kurang keras. Pencahayaan panggung yang terlalu terang atau malah kurang terang. Ibadah yang terlalu mirip dengan pertunjukan hiburan atau malah sangat membosankan. Kita tidak puas dengan lagu-lagu yang dipilih dalam ibadah. Kita berkata, “Gereja ini memperkenalkan terlalu banyak lagu baru,” atau, “Mengapa kita terus menerus menyanyikan lagu yang sama?” Bahkan, ada yang lebih ketus, “Saya benci lagu itu.” Dari nada dasar sampai alat musiknya. Dari pakaian pemimpin ibadah sampai warna suara yang bernyanyi di depan. Nyaris semuanya bisa dikritik oleh mentalisme konsumeristik diri kita.
Kita adalah generasi yang dibentuk oleh slogan perusahaan makanan cepat saji, “Sesuai seleramu!” Kita seperti para juri yang lihai dari sebuah acara lomba. Kita tidak tahu kapan harus menutup mulut. Meskipun kita tidak bicara, kita memanfaatkan media sosial untuk mencurahkan pendapat kita atas apa yang kita sukai dan benci.
Jadi, sebagai manusia sangatlah sulit untuk menghindari selera dan pandangan pribadi. Penilaian kita yang berbeda sangat mempengaruhi bagaimana kita menjalani setiap area dalam kehidupan, termasuk bagaimana kita beribadah di gereja. Dan celakanya, kita sering merohanikan preferensi kita yang sangat subyektif.
Sebagai contoh, bila kita condong menyukai pengalaman ibadah gereja yang lebih kalem dan sederhana maka kita akan meninggikannya sebagai sesuatu yang sangat bernilai secara rohani. Di saat yang sama, kita menganggap ibadah yang berbeda sebagai produk setan. Kita menggunakan deskripsi yang abstrak dan samar seperti, “Ibadah di gereja itu kayak pertunjukan sekuler. Rasanya tidak otentik.” Padahal, bisa jadi semua yang melayani di ibadah gereja tersebut adalah orang-orang yang sangat mengasihi Tuhan. Mereka sudah mengerahkan segala usaha dan doa untuk memakai talenta musik mereka untuk memimpin ibadah gereja sebaik dan seefektif mungkin.
Gereja di masa sekarang memang telah merambah ke hampir semua ekspresi kreatif yang baru bagi ibadahnya. Dari gereja yang begitu tradisional sampai gereja yang sangat mengutamakan orang baru (“para pencari”). Kita memiliki Jazz, R&B, Funk, Gospel, Rock&Roll, Country, Rap, Hair Metal, Klasik dan sebagainya. Tentu saja, kita bisa melihat keindahan di balik semuanya dan juga bahayanya.
Di satu sisi, keragaman ekspresi penyembahan kepada Sang Juruselamat yang memang layak menerimanya adalah sebuah kesempatan yang luar biasa untuk memproklamasikan Injil. Kita juga bisa menyalurkan pujian dalam pelbagai cara yang baru dan segar. Namun, berhati-hatilah! Jangan sampai semua ekspresi penyembahan ini malah menjauhkan kita dari tujuan penyembahan itu sendiri.
Ketika kita berkumpul di gereja, kita tidak datang sebagai kritikus. Kita bukanlah para juri dari lomba bakat seperti dalam acara “The Voice” di mana kita bisa menekan tombol “suka” ketika apa yang kita dengar memang cocok di telinga. Kita tidak berhak untuk memutuskan apakah suatu ibadah benar-benar menghormati Allah dan membangun jemaat semata-mata berdasarkan selera kita. Kemuliaan-Nya tidak menunggu sampai kita suka pada musiknya. Dia tetap mulia dan layak kita sembah terlepas dari reaksi kita atas musiknya.
Kita tidak boleh lancang dengan mendekati tahta Allah yang Maha Besar, Maha Kekal dan Maha Kudus itu dengan sikap ala seorang konsumen di mana kita merasa baru bisa menyembah Dia bila selera pribadi kita terpenuhi. Sikap ini hanyalah mencuri kemuliaan yang sepatutnya dipersembahkan kepada-Nya. Sikap ini juga mengempeskan keberanian gereja untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih penting karena jadi harus mengurusi selera kita. Sikap ini turut menghalangi diri kita sendiri untuk dibentuk oleh kebenaran firman Tuhan yang terkandung dalam setiap nyanyian.
Kita berkumpul untuk mendengarkan firman dan Injil bagi diri sendiri, sesama saudara seiman dan orang lain yang belum mengenal Allah yang begitu mengasihi kita sampai mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan dan menyediakan kehidupan yang kekal bagi kita. Kita bernyanyi tentang atau kepada Yesus yang secara sukarela datang untuk menebus dan mengangkat kita. Dia yang mengalahkan dosa dan kematian serta mengaruniakan Roh Kudus yang membebaskan dan memampukan kita untuk bertobat, percaya, memikul salib dan mengikuti Kristus.
Kita berkumpul di gereja untuk saling melayani sebagaimana kita sudah terlebih dahulu dilayani oleh Allah sendiri.
Kita tidak perlu berada dalam kondisi sempurna untuk bisa melihat keindahan, keagungan dan keajaiban dari Allah yang Maha Mulia itu. Bila kita pernah mencicipi nikmat anugerah maka kita bisa mengulangi rasa kagum tersebut. Kita bisa sungguh-sungguh ditangkap oleh kebenaran yang luar biasa dan menakjubkan. Kebenaran yang dapat melampaui semua preferensi pribadi manusia dari budaya dan zaman apapun. Namun, kita harus terus mengarahkan perhatian kita hanya kepada-Nya.
Penyembahan memang merupakan perang. Namun, bukan perang yang terjadi karena perbedaan selera di antara kita. Kita harus mengalihkan energi kita dari saling menikam satu dengan yang lain karena kesombongan dan keinginan untuk mempertahankan selera. Perang yang sesungguhnya adalah kita harus menaklukkan apapun dalam diri kita yang bisa merintangi kita untuk serius mengejar dan merindukan Kristus dengan segala sesuatu yang kita miliki. Kita harus berjuang untuk menyembah Dia dengan penghormatan yang dipenuhi dengan sukacita tak terbendung.
Karena itu, lain kali saat Anda ke gereja dan menemukan musiknya terlalu keras, atau pemimpin ibadahnya menyanyikan lagu yang Anda tidak sukai, berjuanglah! Berjuanglah melawan dosa dalam dirimu sendiri! Berjuanglah mengalahkan mentalisme konsumeristik dan reaksi yang bisa menghadirkan perpecahan dalam gereja! Berjuanglah untuk tetap memiliki hati yang bersyukur! Berjuanglah untuk kebenaran yang dapat menawan hatimu kembali! Berjuanglah untuk dapat mengalami Allah yang perkasa dan memuji Dia dengan jiwa yang bergelora!
Berjuanglah dalam perang penyembahan yang tepat.
Comentarios