ALEX DUKE
Sumber: ftc.co
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Gereja tempat saya berjemaat sedang mencari seorang pemimpin ibadah. Untuk mencapai tujuan itu, Gembala Sidang kami membentuk tim beranggotakan dua belas orang sebagai Panitia Pencarian Pemimpin Ibadah. Meskipun saya kurang dalam hal musik, saya adalah salah satu anggota yang terpilih untuk melayani dalam tim tersebut.
Saya bersyukur tetapi juga gentar. Bagaimanapun, jabatan “pemimpin ibadah” tidak kita temukan dalam Perjanjian Baru. Fakta ini mengungkap godaan bagi bahkan pribadi yang paling bijak, mudah bagi kita jatuh pada hal-hal subjektif dan dangkal, bahwa garis-garis panduan yang ditentukan dan komitmen yang diharapkan adalah bukti yang didasarkan pada hal-hal yang pernah kita lihat di gereja, yang sudah kita ketahui, atau hal-hal membuat kita nyaman selama ini.
Jadi, saya ingin membagikan beberapa pemikiran yang saya kembangkan ketika saya mendoakan apa yang gereja saya akan lakukan dalam beberapa pekan ke depan, dan apa yang gereja Anda mungkin hadapi saat ini. Mengutip ide yang sudah ada sebelumnya, saya memberikan judul, “Sembilan Tanda Pemimpin Ibadah yang Sehat.”
Saya sangat yakin sembilan hal ini adalah hal-hal yang wajib dimiliki oleh siapapun yang Minggu demi Minggu memimpin jemaat dalam nyanyian. Memang masih jauh dari sempurna; daftar ini adalah seperangkat dari sifat, sikap hati, dan karakteristik yang saya percaya didasarkan pada firman Allah serta harus melampaui budaya dan denominasi.
1. Pemimpin ibadah haruslah memenuhi persyaratan Alkitabiah dari seorang penillik jemaat (penatua).
Ini hal yang penting! Walaupun dia tidak akan disebut sebagai “penatua”, kemungkinan besar jemaat akan memperlakukan dia seperti seorang “penatua”. Penting juga untuk mengingat bahwa salah satu kualifikasi seorang penatua/hamba Tuhan/gembala adalah “cakap untuk mengajar”. Inilah yang dilakukan oleh para pemimpin ibadah, dan kecakapan mereka untuk mengajar (atau kekurangan mereka) akan terlihat nyata setiap Minggu dalam lagu-lagu yang mereka pilih dan dalam cara mereka memfasilitasi ibadah jemaat.
Saya perlu menambahkan peringatan di sini. Tergantung pada apa yang jemaat Anda pahami tentang memimpin nyanyian jemaat, seorang pemimpin ibadah mungkin tidak perlu memenuhi kualifikasi sebagai seorang penatua. Seorang teman saya membantu memikirkan kembali poin ini dan menawarkan pembedaan yang sangat membantu: “Seseorang yang hanya memimpin secara musikal harus memenuhi persyaratan Alkitabiah sebagai seorang diaken. Seseorang yang memimpin bagian ibadah yang mencakup nyanyian, doa, dan pembacaan Alkitab harus memenuhi persyaratan sebagai seorang penatua/penilik jemaat.” Saya setuju dengan pemikiran ini, dengan asumsi bahwa skenario yang kedua secara alami akan menempatkan “pemimpin pujian” atau apapun sebutannya pada fungsi yang lebih pastoral.
2. Pemimpin ibadah haruslah memiliki kecakapan musikal.
Hal ini jelas sekali, saya tahu. Mungkin petunjuk yang lebih spesifik dan membantu kita adalah dia seharusnya dapat memilih nyanyian sesuai dengan kemampuan musikalnya. Anda sangat menyukai nuansa baru pada himne klasik? Yah, saya juga, tetapi sulit bagi saya untuk ikut bernyanyi ketika saya tidak dapat mengenali syair atau melodinya dengan mudah ketika saya melihat ekspresi “jangan sampai salah” di wajah pemain drum dan di mata pemain gitar.
Juga, adalah hal yang tidak bijak untuk menjadikan kualifikasi musikal ini menjadi hal yang utama; sesungguhnya, hal ini haruslah tunduk pada hampir semua kualifikasi lain. Seorang musisi yang saleh dengan kemampuan musikal biasa-biasa saja akan dapat melayani gereja kita dengan lebih baik dalam jangka panjang ketimbang seorang dengan talenta luar biasa yang lebih banyak berkutat dengan lembar akord musiknya daripada membaca Alkitabnya.
3. Pemimpin ibadah haruslah menjadi (hampir) tak terlihat.
Seorang tamu yang telah menghadiri pertemuan ibadah Minggu seharusnya lebih terkesan dengan kesaksian korporat jemaat yang memuji Allah dalam nyanyian mereka daripada dengan kemampuan atau penampilan satu orang. “Wow, orang-orang ini sungguh luar biasa menyanyi tentang Jesus,” selalu lebih baik daripada, “Wah, orang itu hebat!”
4. Pemimpin ibadah harus memiliki kesetiaan pada liturgi yang berpusat pada Injil.
Saya menggunakan kata “liturgi” dalam pemahaman umum, yang berarti urutan (“flow”) dari ibadah, bukan bentuk paten dan hafalan tentang duduk-berdiri dan nyanyian yang harus diulang setiap Minggu. Setiap ibadah gereja mengikuti liturgi tertentu; pertanyaan yang penting adalah apakah liturgi tersebut merefleksikan karakter Allah dan inti dari Injil atau hanya pendekatan “mengalir mengikuti kata hati”?
Menjangkarkan liturgi pada Injil dapat merujuk pada naskah ibadah yang ditulis dan direncanakan sebelumnya (mencakup kalimat transisi di antara lagu) yang membantu mengarahkan jemaat sepanjang ibadah. Pembacaan Alkitab, doa-doa, dan berbagai kesaksian akan anugerah Allah ditambatkan pada tema nats firman yang akan dikhotbahkan. Semua ini dapat mengarahkan hati dan pikiran dari jemaat yang hadir. Dengan penuh doa, persiapan yang matang dan penuh pertimbangan menumbuhkan sebuah budaya intensional yang tepat dalam gereja. Jangan berasumsi Roh Kudus hanya bekerja “sewaktu-waktu” saja.
5. Pemimpin ibadah haruslah bekerja sama dengan pengkhotbah.
Pemimpin ibadah tidak membuat semua keputusan yang ada. Setiap nyanyian harus mendukung firman yang dikhotbahkan. Hal ini mengingatkan gereja akan sebuah kebenaran yang penting: sang pengkhotbah adalah seorang pemimpin ibadah juga. Seseorang menyembah Allah juga ketika mendengar khotbah sama seperti ketika menyembah melalui menyanyikan lagu.
Hal ini tidak berarti bahwa tema khotbah dan lagu-lagu yang dinyanyikan harus identik dalam pemahaman yang sempit. Namun, misalnya saja, pendeta Anda mengkhotbahkan kebangkitan, nyanyikan lagu-lagu yang menguraikan makna dari peristiwa kebangkitan dan bukan lagu-lagu yang mengacu pada kebaikan Allah secara umum dalam relasi-Nya dengan umat-Nya. Tentu saja topik kebaikan Allah adalah hal yang penting untuk disaksikan, tetapi kebangkitan (Kristus) adalah peristiwa spesifik yang mewahyukan hal-hal spesifik tentang Allah dan kita. Hubungan antara khotbah dan lagu yang saling mendukung ini menyediakan kesempatan untuk memuji Allah secara spesifik dan unik dalam kita merespons wahyu-Nya.
6. Pemimpin ibadah haruslah memiliki ekspresi rentang emosi yang luas.
Setiap pertemuan ibadah Minggu haruslah memiliki momen pemujaan, pengucapan syukur, pengakuan dosa, perayaan, dan sebagainya. Gereja seharusnya menjadi ruang di mana berbagai macam emosi dapat diterima: rasa bersalah, malu, kesedihan, sukacita, syukur, dan banyak lain. Saat kita hanya menyanyikan lagu-lagu rancak tentang betapa senangnya kita berada di dalam rumah Tuhan, atau ketika kita dengan sekuat tenaga sepanjang minggu ini karena Yesus luar biasa, kita secara tidak sadar mengajarkan jemaat bahwa merasa sedih atau merasa bersalah atau merasa terhimpit kurang layak disebut orang Kristen, sebuah sikap hati yang tidak pantas untuk memuji Allah.
Ada banyak lagu yang meninggikan Yesus sembari juga terbuka dan jujur mengenai perasaan yang tertekan dan penuh luka. Saya tidak pernah lupa menyanyikan Be Still My Soul beberapa hari setelah mendengar seorang teman didiagnosis menderita kanker stadium akhir. Walaupun muram dan dirancang untuk mengisahkan emosi tertentu yang hanya dirasakan segelintir dari jemaat yang hadir, lagu ini menarik saya kepada tangan Yesus yang penuh kasih. Apakah lagu yang gembira dapat melakukan hal serupa juga? Tentu saja. Namun, ketika citarasa duka tidak pernah ditampilkan dalam ibadah, kita ada dalam bahaya menyiarkan pesan palsu yang tidak mencerminkan inti kekristenan, tentang apa artinya menjadi manusia yang mengejar keserupaan dengan Kristus dalam dunia yang berdosa ini. Kita mewartakan pada anggota jemaat kita dan pada tamu-tamu yang hadir bahwa orang Kristen selalu bahagia dan relasi dengan Kristus meremehkan dukacita. Kita seharusnya menyiapkan jemaat menghadapi kekecewaan atau ketidaksiapan saat menemui kesulitan.
7. Pemimpin ibadah haruslah setia menyembah Yesus secara gamblang dan jelas.
Hal ini tidaklah merujuk pada nada-nada musiknya tetapi lebih khusus pada syair dari lagu-lagu tertentu. Mayoritas musik gerejawi haruslah merujuk pada inti Kekristenan-meninggikan tidak hanya karakter Allah, tetapi juga kebenaran dasar Injil. Kita bisa saja menyanyikan beberapa lagu yang dengan senang hati dinyanyikan oleh orang Yahudi yang belum bertobat–walau demikian, kita harus menyanyikan tentang Yesus Kristus: kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Kata-kata seperti “dosa”, “Injil” dan “salib” haruslah sering dinyanyikan dan mungkin juga perlu dijelaskan bagi tamu yang hadir, yang mungkin saja tidak mengetahui apa perbedaan antara gereja Baptis dan sinogoga Yahudi. Berasumsi bahwa semua yang hadir adalah umat Kristiani dan memahami makna syair lagu bisa menjadi sumber kebingungan.
8. Pemimpin ibadah haruslah mendorong dan mengundang partisipasi jemaat.
Sebagai tambahan untuk mendorong nyanyian jemaat yang lantang, pemimpin ibadah dapat meminta beberapa anggota jemaat untuk berdoa dalam ibadah. Hal ini menyediakan kesempatan bagi banyak jemaat untuk ambil bagian dalam ibadah, bukan hanya yang memiliki talenta musikal saja.
9. Pemimpin ibadah haruslah pertama-tama mementingkan hormat kepada Allah dan meninggikan Yesus dan Injil-Nya, lebih daripada menjangkau generasi muda atau kelompok demografis lainnya.
Setiap gereja perlu memiliki kepekaan budaya (hal ini sebenarnya yang membuat banyak dari Anda menghindari lagu kesukuan Afrika), tetapi tidak ada satu gereja pun yang seharusnya dikendalikan oleh budaya. Jika percakapan tentang keberhasilan pelayanan mulai menggantikan topik tentang kesetiaan, maka kita sedang melangkah menuju pola pikir ibadah yang berpusat pada manusia dan yang akan selalu berubah setiap tahunnya.
Selain Kristus, setiap generasi keturunan Adam telah mati dalam dosa-dosa mereka, mereka berada dalam kebutuhan yang mendesak akan firman Kristus yang memberi hidup. Karena kebutuhan ini, sepulangnya dari gereja di hari Minggu, tidak ada orang yang perlu untuk berpikir, “Wah, musiknya enak sekali tadi!” Lebih dari segalanya, mereka butuh mendengar Injil secara jelas dan gamblang; mereka butuh untuk disadarkan akan situasi hidup yang sangat buruk di luar Kristus dan –yang lebih dari itu– tangan penuh kasih karunia dari satu-satunya Juruselamat yang terulur bagi mereka.
Comments