SAM STORMS
Sumber: churchleaders.com
Diterjemahkan oleh Margie Yang (@margieyang)
Mengangkat tangan adalah bagian dari ibadah dalam banyak gereja. Ibadah melibatkan tubuh ragawi kita, seperti halnya melibatkan hati dan pikiran kita. Postur tubuh kita menceritakan sebuah kisah. Postur kita adalah sebuah pernyataan kepada Allah dan kepada orang lain tentang keadaan jiwa kita dan perasaan serta kerinduan yang ada dalam hati kita.
Bila Anda datang ke Bridgeway (Bridgeway Church di Oklahoma City, Oklahoma; tempat penulis melayani), Anda akan dengan cepat melihat bahwa kami bebas dan sering mengangkat tangan ketika beribadah. Beberapa orang bahkan berlutut. Beberapa yang lain duduk sepanjang ibadah berlangsung; bisa jadi karena preferensi atau karena keterbatasan fisik. Beberapa hanya berdiri. Ya, beberapa bahkan menari. Namun, karena keterbatasan waktu dan ruang, saya tidak akan bicara tentang postur lain dan membatasi pembahasan saya pada mengangkat tangan dan signifikasinya dalam ibadah.
Sepuluh Catatan tentang Mengangkat Tangan dalam Ibadah
1. Teladan dari Alkitab
Saya mengangkat tangan ketika berdoa dan memuji Allah karena saya menemukan teladan eksplisit dari Alkitab untuk melakukan hal itu. Saya tidak tahu apakah saya sudah menemukan semua catatan Alkitab tentang mengangkat tangan, tetapi beberapa contoh berikut patut diperhatikan.
“Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu.” (Mazmur 63:5)
“Kepada-Mu, ya TUHAN, gunung batuku, aku berseru, janganlah berdiam diri terhadap aku, sebab, jika Engkau tetap membisu terhadap aku, aku menjadi seperti orang yang turun ke dalam liang kubur. Dengarkanlah suara permohonanku, apabila aku berteriak kepada-Mu minta tolong, dan mengangkat tanganku ke arah tempat-Mu yang maha kudus.” (Mazmur 28:1-2)
“Aku telah berseru kepada-Mu, ya TUHAN, sepanjang hari, telah mengulurkan tanganku kepada-Mu.” (Mazmur 88:10)
“Aku menaikkan tanganku kepada perintah-perintah-Mu yang kucintai, dan aku hendak merenungkan ketetapan-ketetapan-Mu.” (Mazmur 119:48)
“Angkatlah tanganmu ke tempat kudus dan pujilah TUHAN!” (Mazmur 134:2)
“Ya TUHAN, aku berseru kepada-Mu, datanglah segera kepadaku, berilah telinga kepada suaraku, waktu aku berseru kepada-Mu! Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.” (Mazmur 141:1-2)
“Aku menadahkan tanganku kepada-Mu, jiwaku haus kepada-Mu seperti tanah yang tandus.” (Mazmur 143:6)
“Kemudian berdirilah (Salomo) di depan mezbah TUHAN di hadapan segenap jemaah Israel, lalu menadahkan tangannya; - karena Salomo telah membuat sebuah mimbar tembaga yang panjangnya lima hasta, lebarnya lima hasta dan tingginya tiga hasta, yang ditaruhnya di halaman –; ia berdiri di atasnya lalu berlutut di hadapan segenap jemaah Israel dan menadahkan tangannya ke langit …” (2 Tawarikh 6:12-13)
“Pada waktu korban petang bangkitlah aku dan berhenti menyiksa diriku, lalu aku berlutut dengan pakaianku dan jubahku yang koyak-koyak sambil menadahkan tanganku kepada TUHAN, Allahku …” (Ezra 9:5)
“Lalu Ezra memuji TUHAN, Allah yang maha besar, dan semua orang menyambut dengan: “Amin, amin!” sambil mengangkat tangan. Kemudian mereka berlutut dan sujud menyembah kepada TUHAN dengan muka sampai ke tanah.” (Nehemia 8:7)
“Marilah kita mengangkat hati dan tangan kita kepada Allah di sorga …” (Ratapan 3:41)
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan.” (1 Timotius 2:8)
2. Ibadah – dan Doa
Jika seseorang mengajukan keberatan dan mengatakan bahwa hanya beberapa nats di atas yang bicara tentang ibadah (bandingkan Mazmur 63:5, 134:2), tetapi hanya sebuah doa (seakan-akan ada sebuah pembatas baku yang bisa dibuat antara ibadah dan doa; sesungguhnya, saya tidak dapat mengingat pernah beribadah kepada Allah tanpa berdoa kepada-Nya; dan doa sendiri adalah sebuah bentuk ibadah).
Saya juga memiliki sebuah pertanyaan: Mengapa Anda beranggapan bahwa tempat yang tepat bagi kedua tangan Anda adalah di samping badan dan Anda membutuhkan pembenaran eksplisit dari Alkitab supaya dapat mengangkat tangan? Bukankah sebuah hal yang masuk akal untuk menganggap bahwa tempat yang tepat bagi tangan-tangan ini adalah ketika mereka terangkat ke arah sorga, dan Anda juga membutuhkan pembenaran eksplisit dari Alkitab bila mau membiarkan tangan Anda di bawah saja (selain dari gravitasi atau kelelahan fisik)?
3. Ibadah Seluruh Raga
Ketika saya ditanyai mengapa saya percaya akan mengangkat tangan dalam ibadah, saya sering menjawab: “Karena saya bukan seorang Gnostik!” Gnostisisme, baik dalam bentuk purba dan modern, merendahkan tubuh ragawi. Di antara banyak pengajarannya, paham ini mengedepankan sebuah hiperspiritualitas yang mengecilkan makna kebaikan dari realitas fisik. Kaum Gnostik berfokus, hampir secara eksklusif, pada dimensi nonmateri atau “spiritual” dari keberadaan dan pengalaman manusia. Tubuh ragawi itu jahat dan rusak. Tubuh ragawi harus dikontrol dan ditekan dan terus diperiksa agar tidak mencemari pujian yang murni dari roh seseorang. Tubuh ragawi, kata mereka, tidak lebih dari penjara sementara bagi jiwa yang merindukan kelepasan kepada wujud yang murni, keluar dari dunia ini, dan seluruhnya dalam roh. Sungguh omong kosong!
Pada sebuah upacara pernikahan yang saya pimpin, mempelai perempuan berasal dari Inggris dan meminta agar saya menggunakan satu bagian khusus dalam janji pernikahan yang berbunyi demikian:
“Dengan tubuhku, aku akan menghormatimu.
Tubuhku akan memujamu,
dan tubuhmu saja yang akan aku hargai.
Aku akan dengan tubuhku, menyatakan engkau bernilai.”
Kekristenan yang Alkitabiah merayakan ciptaan Allah dalam perwujudan ragawi (lagi pula, Allah menyatakannya “baik” dalam Kejadian 1). Kita lebih dari sekadar makhluk nonmateri. Kita adalah jiwa yang memiliki raga, dan diciptakan untuk menyembah Allah dengan seluruh keberadaan kita. Kita harus “menghormati” Allah dengan tubuh ragawi kita. Kita “memuja” Allah dengan tubuh ragawi kita. Dengan tubuh ragawi kita “menyatakan” Allah sangat berharga dalam hidup kita. Paulus dengan sangat jelas menulis ketika ia menasihati kita untuk mempersembahkan “tubuh (kita) sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah,” yang adalah “ibadah (kita) yang sejati” (Roma 12:1).
Tentu saja, kita harus beribadah dengan pengertian. Kita harus berpikir dengan benar akan Allah dan mengasihi-Nya dengan segenap hati dan jiwa dan akal budi (bandingkan Matius 22:37). Namun kita bukan, berdasar alasan di atas, makhluk yang kurang ragawi. Kita akan memiliki tubuh kemuliaan selamanya yang akan menghormati dan memuja Allah kita yang luar biasa. Jika kita diperintahkan untuk menari, berlutut, menyanyi dan berkata-kata ketika beribadah, apakah ada alasan masuk akal untuk tidak menggunakan kedua tangan kita juga?
4. Kedua Tangan Kita Bicara dengan Lantang.
Tangan manusia menyampaikan ekspresi kasat mata dari berbagai keyakinan, perasaan, dan maksud kita. Ketika saya mengajar homiletika (ilmu berkhotbah), salah satu tugas paling sulit adalah membuat para pengkhotbah muda untuk menggunakan tangan mereka dengan benar. Entah karena rasa malu atau takut, mereka akan terus memasukkan tangan ke dalam saku, menyembunyikan di balik punggung mereka, atau dengan gugup memutarnya dengan berbagai variasi cara yang mengganggu.
Kedua tangan kita bicara dengan lantang. Ketika marah, kita mengepalkan tangan, memberi ancaman kepada orang lain. Ketika merasa bersalah, kita menyembunyikan tangan atau menyembunyikan bukti yang memberatkan dari pandangan orang lain. Ketika merasa tidak nyaman, kita menduduki tangan kita untuk memberi rasa aman pada batin kita. Ketika khawatir, kita meremas tangan. Ketika takut, kita menggunakan tangan untuk menutupi wajah atau berpegangan erat pada seseorang yang bisa melindungi. Ketika putus asa atau frustrasi, kita meninju udara dengan liar, mungkin juga dengan kepasrahan atau kecemasan. Ketika bingung, kita merentangkan tangan tanpa arah tujuan, seakan sedang meminta nasihat dan arahan. Ketika menunjukkan keramahan, kita menggunakan tangan untuk menyambut tamu kita dengan hangat. Ketika curiga, kita menggunakan mereka untuk menjauhkan diri dari seseorang, atau mungkin menunjuk dengan tangan untuk menuduh orang tersebut.
5. Berserah
Saya mengangkat kedua tangan ketika menyembah karena seperti seorang yang menyerah pada otoritas yang lebih tinggi, saya menyerahkan diri pada kehendak dan rancangan Allah dan menundukkan diri pada pimpinan dan kuasa dan tujuan-Nya dalam hidup saya. Mengangkat tangan adalah cara saya berkata, “Ya Allah, saya adalah milik-Mu, Engkau dapat melakukan apa saja sesuka-Mu.”
6. Kerentanan
Saya mengangkat tangan ketika beribadah karena seperti seseorang yang menyatakan kerentanan total, saya berkata kepada Tuhan: “Tidak ada yang saya sembunyikan. Saya datang pada-Mu dengan tangan terbuka, tidak ada yang ditutupi. Hidup saya terbuka untuk Engkau uji dan kuduskan. Saya tidak menahan apapun. Hati, jiwa, roh, tubuh, dan kehendak saya seperti buku yang terbuka di hadapan-Mu.”
7. Kebergantungan
Saya mengangkat tangan dalam ibadah karena seperti seorang yang membutuhkan pertolongan, saya mengakui kebergantungan total pada Allah untuk segala sesuatu. Saya berseru: “Ya Allah, saya memercayakan hidup saya kepada-Mu. Jika Engkau tidak memegang dan mengangkat saya, pastilah saya tenggelam dalam jurang dosa dan maut. Saya bersandar pada kekuatan-Mu saja. Jagalah saya. Topanglah saya. Selamatkanlah saya.”
8. Sebuah Postur Menerima
Saya mengangkat tangan dalam ibadah karena seperti seorang yang dengan gembira dan penuh harap menerima sebuah hadiah dari orang lain, saya menyatakan kepada Tuhan: “Ya Bapa, saya dengan penuh syukur merengkuh segala yang Engkau berikan. Saya adalah pengemis rohani. Saya tidak punya apapun untuk diberikan selain kebutuhan saya akan seluruh Diri yang Kauberi kepadaku dalam Yesus. Maka muliakan Diri-Mu dengan memuaskanku seutuhnya dengan Engkau saja.”
9. Menunjuk pada Sang Juru Selamat
Saya mengangkat tangan dalam ibadah karena seperti seorang yang sangat rindu untuk mengalihkan perhatian dari dirinya sendiri kepada Sang Juru Selamat, saya berkata: “Ya Allah, milik-Mu kemuliaan; milik-Mu kuasa; milik-Mu kehormatan, semua hanya milik-Mu.”
10. Yang Dikasihi Allah
Saya mengangkat tangan dalam ibadah karena sebagai seorang yang dikasihi Allah, saya berkata dengan kelembutan hati dan dalam keintiman pada Kekasih jiwa saya: “Abba, Bapa, rengkuh aku. Lindungi aku. Bukakan isi hati-Mu kepadaku. Aku milik-Mu! Engkau milikku! Tetaplah dekat dan mampukanku untuk mengenal dan merasakan kasih dalam hati-Mu bagi sebuah jiwa yang penuh dosa ini.”
Selama bertahun-tahun ketika saya dengan kaku menyimpan kedua tangan di samping tubuh atau menaruhnya dengan aman dalam saku celana, saya tahu tidak ada yang akan melihat pujian saya kepada Allah atau doa putus asa saya. Tidak ada yang bisa menuduh saya fanatik! Saya merasa memegang kendali, terhormat, bersikap anggun, dan di atas semuanya, aman. Semua hal ini sudah tidak lagi bermakna bagi saya.
Mohon mengerti: Kata-kata ini bukanlah sebuah penghakiman tetapi sebuah pengakuan. Saya tidak memahami hati orang lain, tetapi saya memahami hati saya sendiri. Saya tidak berani menghakimi motivasi orang lain, selain motivasi saya. Saya tidak sedang mendikte Anda bagaimana harusnya beribadah, tetapi berbagi bagaimana saya melakukannya dan alasan di baliknya. Saya ada di sebuah titik dalam hidup di mana saya dengan jujur tidak peduli apa yang dipikirkan oleh kaum Injili yang kaku atau apa yang dirasakan kaum Kharismatik. Yang terpenting bagi saya adalah Allah memiliki saya seutuhnya: pikiran, kehendak, kaki, mata, telinga, lidah, hati, perasaan, dan, ya, tangan saya.
Tidak, Anda tidak perlu berlatih mengangkat tangan untuk menyembah Allah. Namun, apa ada alasan dalam diri Anda untuk tidak mau melakukannya?
Comments