top of page
Writer's pictureWOW Ministry

SIAPA YANG BOLEH MEMBAPTISKAN?

Kelvin DeYoung

Diterjemahkan oleh Jimmy Setiawan (@jimmystwn)



Pembicaraan tentang siapa yang bisa dibaptiskan tidaklah sepanas tentang siapa yang boleh membaptiskan. Apakah baptisan – dan juga Perjamuan Kudus – harus dipimpin oleh seorang rohaniwan yang sudah ditahbiskan (dan mungkin juga para penatua)? Atau setiap anggota gereja yang diakui kerohaniannya dapat juga diberikan wewenang?


Sejumlah pendapat yang bagus telah disampaikan bahwa baptisan tidak terbatas hanya pada para pendeta dan penatua. Sebagai contoh, Wayne Grudem, meyakini bahwa, “Tampaknya tidak ada keharusan untuk membatasi hak membaptiskan hanya pada para rohaniwan yang sudah ditahbiskan.” Dan karena itu, semua orang percaya bisa membaptiskan para petobat baru (buku Systematic Theology, hal.983-984). Baru-baru ini, saya membaca di sebuah situs gereja yang sangat saya hormati juga menyuarakan hal yang serupa. Argumentasi mereka adalah bahwa di Alkitab tidak terdapat pembatasan secara terang benderang dan bahwa kita mempercayai prinsip keimaman orang percaya (1 Petrus 2:4-10). Karena itu, kesimpulannya kita tidak boleh mengkhususkan wewenang baptisan hanya kepada pendeta dan penatua gereja.


Tentu saja, ini diskusi yang baik. Saya juga tertarik dengan hal ini karena banyak orang yang saya kenal merasa harus pendeta yang membaptiskan tetapi mereka tidak tahu apa alasannya. Saya sendiri percaya ada alasan-alasan yang kuat. Saya berpegang pada pandangan bahwa hanya pendeta dan penatua (seperti di denominasi RCA) yang boleh melakukan sakramen dan tentu saja termasuk di dalamnya adalah baptisan.


Ada empat alasan atas pandangan ini:


1. ALASAN ALKITABIAH.

Kita bisa melihat bahwa mereka yang melakukan baptisan Kristen dalam Perjanjian Baru memang sudah dikhususkan oleh Kristus untuk jabatan-jabatan tertentu dalam gereja perdana, seperti Petrus, Paulus, Filipus. Bila kita berbicara secara ketat, Amanat Agung yang mengandung perintah untuk membaptiskan sebenarnya diberikan kepada para rasul, bukan kepada semua orang percaya tanpa pandang bulu. Tidak ada bukti dalam Alkitab di mana anggota gereja biasa membaptiskan.


2. ALASAN TEOLOGIS.

Kita harus mempertimbangkan bagaimana Kristus memerintah gerejanya. Kristus adalah satu-satunya Raja dan Kepala gereja. Segala otoritas bersumber dari otoritas-Nya. Semua pemerintahan gereja berasal dari-Nya. Setiap anugerah bermula dari anugerah-Nya. Namun, “Sebagai Raja dari gereja-Nya, Kristus juga menetapkan jabatan-jabatan khusus seperti para pemimpin yang berhak memimpin gereja-Nya.” (Bavinck) Melalui para pemimpin inilah, Kristus, Sang Gembala yang utama itu menggembalakan jemaat-Nya (Kisah Para Rasul 20:28, 1 Petrus 5:1-4). Sakramen adalah sarana anugerah dan perwujudan otoritas gereja yang diemban oleh para pemegang jabatan gerejawi tersebut.


3. ALASAN EKSEGETIKAL.

Kepercayaan pada keimaman orang percaya tidaklah otomatis mendukung pelaksanaan baptisan oleh setiap anggota gereja. Rujukan bahwa gereja merupakan “imamat yang rajani” hanya menegaskan natur kudus dari umat Allah (1 Petrus 2:9). Hal ini sama sekali tidak mengatakan bahwa dalam masa Perjanjian Baru tidak perlu ada lagi ritual peribadahan yang tidak dipimpin oleh mereka yang ditahbiskan. Karena dalam Perjanjian Lama, umat Allah juga disebut sebagai kerajaan imamat (Keluaran 19:6), tetapi mereka tetap mempunyai satu suku yang dikhususkan untuk menjadi para imam yang bertugas melakukan pelbagai fungsi keimaman.


4. ALASAN PRAKTIS.

Baptisan yang bertanggung jawab haruslah berada di bawah pengawasan gereja. Baptisan tidak boleh diadakan secara gegabah dan semata-mata karena ada orang yang ingin dibaptiskan. Harus ada proses akuntabilitas dan evaluasi. Grudem sendiri mengatakan secara tegas bahwa pendeta dari gereja harus terlibat untuk menentukan siapa yang pantas untuk dibaptiskan dan siapa yang boleh membaptiskan. Bila pemimpin gereja yang mengawasi seluruh proses ini karena baptisan adalah peristiwa gerejawi (bukan privat) maka alasan yang sama bisa digunakan bahwa hanya para pemimpin gereja yang sudah diberikan otoritas oleh Kristus yang bisa membaptiskan orang lain.


Dari keempat alasan di atas, alasan kedua yang paling kuat. Berdasarkan alasan-alasan inilah, saya mendukung praktek tradisi gereja yang memang membatasi pelaksanaan sakramen hanya oleh pendeta-penatua dari gereja.



CATATAN TAMBAHAN

Saya menerima banyak pertanyaan dan tanggapan yang bagus atas tulisan saya. Saya ingin sedikit memperjelas tentang alasan yang melibatkan Amanat Agung (alasan pertama), karena ini kritik yang paling banyak saya terima.

Pertama, Turrentin menuliskan dalam bukunya Elenctic Theology tentang apakah baptisan oleh orang Kristen awam diperbolehkan dalam kasus apapun. Berikut ini paragraf lengkapnya:


“Sakramen sebagai meterai atau jaminan dari Sang Raja adalah tindakan yang berdasarkan otoritas. Karenanya, tidak bisa disalurkan oleh orang biasa, meskipun diberikan izin khusus. Berbeda dengan tugas mengajar yang lebih luas daripada baptisan. Karenanya, orang yang dibaptiskan dapat mengajar, tetapi mereka yang mampu mengajar tidaklah serta merta boleh membaptiskan.” (3.394)


Dengan perkataan lain, mereka yang dapat mengajar berada di kategori yang lebih luas daripada mereka yang dapat membaptiskan.


Saya menyebutkan ini karena berkaitan dengan Amanat Agung. Kita tahu bahwa Amanat Agung diberikan kepada sekelompok orang yang spesifik, yaitu mereka yang menantikan kuasa yang lebih besar di Yerusalem dan mereka yang menjadi saksi mata dari kebangkitan. Bukan berarti Amanat Agung tidak berlaku bagi semua orang Kristen dan hanya bagi pemangku jawaban gerejawi. Namun, kita harus memahami signifikansinya berdasarkan implikasi, bukan berdasarkan aplikasi secara langsung. Perkataan ini terdengar benar, “Baiklah, jika kami tidak boleh membaptiskan maka kami juga tidak perlu memuridkan.” Namun, argumentasi ini sudah kejauhan. Bila setiap hal yang terkandung dalam Amanat Agung memang ditujukan kepada setiap orang percaya maka 99% dari kita dapat dianggap tidak menaatinya sebab kita tidak pergi ke ujung bumi untuk mengabarkan Injil. Akan tetapi, pikiran yang masuk akal menuntun kita bahwa kita tetap bisa menaati Amanat Agung ketika kita berpartisipasi secara tidak langsung sebagai Tubuh Kristus yang mengutus para misionaris ke seluruh pelosok dunia.


Jadi sebaiknya kita memahami Amanat Agung bahwa: [1] Kristus memang mengutus para rasul, [2] menyerahkan prioritas misi kepada gereja, dan implikasinya adalah [3] mendorong setiap orang Kristen berperan serta dalam kapasitasnya masing-masing. Tambahan dari saya ini tentu tidak menyelesaikan perdebatan tentang siapa yang boleh membaptiskan. Namun, di balik Amanat Agung terkandung kerinduan Yesus bagi semua orang Kristen akan betapa pentingnya mengajarkan sesama tentang apa yang Yesus perintahkan, memuridkan bangsa-bangsa dan membaptiskan mereka dalam nama Allah Tritunggal.


4,142 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page